spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Vonis Hakim Perkara Anak di Bontang: Menguras Emosi, Menguji Keadilan

SELASA (12/8) hari ini, saya kembali mendampingi H. Arief Widagdo Soetarno, S.H., M.Si. Kali ini agendanya pembacaan putusan perkara pidana anak di Pengadilan Negeri Bontang.

Kasus ini langsung menarik perhatian saya sejak dilibatkan oleh Pak Arief sebagai rekan Penasihat Hukum (PH) dua bulan lalu. Bukan hanya karena menyangkut pasal perlindungan anak, tetapi juga karena adanya tarik-menarik antara logika hukum, fakta persidangan, dan persepsi masyarakat.

Majelis hakim yang dipimpin Maulana Abdillah, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bontang, bersama dua hakim anggota yang keduanya perempuan, memutus terdakwa bersalah dan menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp30 juta subsider 6 bulan kurungan.

Hukuman ini satu tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta 7 tahun 6 bulan. Terdakwa maupun jaksa sama-sama menerima, sehingga perkara ini langsung inkracht atau berkekuatan hukum tetap.

Kasus ini cukup melelahkan bagi keluarga terdakwa. Proses hukumnya sudah dijalani sejak Januari 2025. Menguras tenaga, pikiran, dan emosi kedua belah pihak.

Fakta persidangan menunjukkan, kronologinya tidak sesederhana narasi yang beredar. Korban, sebut saja N (14), pelajar kelas 2 SMP, meninggalkan rumah atas keinginannya sendiri. Dalam Berita Acara Pemeriksaan, ia mengaku menghubungi terdakwa lewat media sosial untuk membantu memesan kamar hotel karena tidak memiliki identitas. Sebelumnya, N bersama beberapa temannya berkumpul di rumah salah satu saksi dan membicarakan rencana untuk menginap. Sebagian teman pulang karena dipanggil orang tuanya, sementara N tetap berada di kamar bersama terdakwa.

Baca Juga:   IKN Triliunan, PPU Miliaran: Mana Rasa Keadilan Negara?

Bukti berupa akta kelahiran memastikan korban masih di bawah umur. Keterangan saksi di bawah sumpah, termasuk ibu korban, FA, dan teman korban EF menguatkan telah terjadi perbuatan yang dilarang hukum. Hakim mencatat, meski keterangan korban tidak diucapkan di bawah sumpah karena belum memenuhi syarat usia menurut KUHAP, keterangannya tetap bisa dipakai sebagai petunjuk jika selaras dengan bukti sah lainnya.

Sikap kedua keluarga tampak berseberangan. Pihak keluarga terdakwa tercatat sudah tiga kali mendatangi rumah korban untuk menyampaikan permohonan maaf sekaligus menyatakan kesediaan bertanggung jawab.

“Anak di bawah umur memang harus dilindungi, tapi bagaimana jika anak itu berada dalam pergaulan yang tidak terkontrol dan orang tua membiarkan? Apakah tidak ada keadilan bagi anak kami?” ujar ibu terdakwa.

Sebaliknya, orang tua korban tegas menolak pandangan itu. “Anak kami sudah mengalami peristiwa yang berat. Biarlah hukum yang memberi keadilan,” ujar ibu korban.

Majelis hakim mempertimbangkan hal yang memberatkan. Yakni usia korban yang masih sangat muda dan dampak psikologis yang ditimbulkan. Hal yang meringankan, terdakwa mengakui perbuatan, menyesali, belum pernah dihukum, dan bersikap kooperatif selama proses hukum. “Anak di bawah umur wajib dilindungi oleh negara. Namun, hukuman yang dijatuhkan harus mempertimbangkan seluruh fakta, termasuk sikap terdakwa selama proses hukum,” ucap hakim dalam amar putusannya.

Baca Juga:   Event Lari di IKN, tapi Dampaknya Nasional

Putusan ini, menurut saya, cukup proporsional. Hakim mengakui pelanggaran yang terjadi, namun tetap menimbang argumen pembelaan yang terbukti di persidangan.

Kasus ini membuktikan, hukum saja tidak cukup untuk melindungi anak. Peran orang tua dalam membimbing dan mengawasi justru yang paling penting. Jika abai, peristiwa seperti ini hanya akan berulang.

Perkara ini memang selesai di pengadilan, tapi belum tentu tuntas di dunia luar. Selama pengawasan dan pendidikan anak lemah, perlindungan yang ada hanya akan menjadi formalitas di atas kertas, dan kasus serupa akan terus bermunculan dengan korban serta pelaku yang masih sama-sama muda. (*)

Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

BERITA POPULER