spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Unmul, Molotov, dan Pertaruhan Marwah Mahasiswa

SAYA masih ingat tahun 1998, saat semester tiga di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Fahutan Unmul). Indonesia kala itu berada di titik nadir. Krisis moneter menghantam keras. Rupiah terjun dari Rp2.500 menjadi Rp15 ribu per dolar. Harga kebutuhan pokok melambung, jutaan orang kehilangan pekerjaan, sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) kian telanjang.

Di tengah situasi itu, mahasiswa bergerak. Dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, hingga Samarinda, demonstrasi digelar dengan satu tuntutan besar: reformasi. Mahasiswa menuntut Presiden Soeharto mundur. KKN diberantas, Dwi Fungsi ABRI dicabut, dan pemilu jujur serta adil dilaksanakan.

Saya ikut merasakan gerakan itu. Turun ke jalan, berteriak dengan suara serak, bersama barisan yang percaya mahasiswa adalah suara rakyat. Kampus jadi basis perlawanan moral.

Saya juga masih ingat Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 yang menewaskan empat mahasiswa. Dari sana api perlawanan membesar hingga akhirnya Presiden Soeharto benar-benar mundur pada 21 Mei 1998. Itu bukti, gerakan mahasiswa, meski penuh risiko, berdiri di atas idealisme dan moralitas.

Baca Juga:   Poros Samarinda–Bontang: Antara Janji Perbaikan, Realita Rusak, dan Mimpi Jalan Tol

Karena itulah, kabar ditemukannya 27 bom molotov di sekitar kampus Unmul membuat saya sulit percaya. Bagaimana mungkin ruang akademik yang seharusnya jadi tempat lahir ide-ide, justru dijadikan sasaran provokasi?

Fakta yang diungkap polisi memperlihatkan ada aktor intelektual dari luar kampus yang merancang skenario anarkis, sementara mahasiswa ditarik masuk sebagai pelaksana. Dua orang ditangkap, tiga lainnya masih diburu.

Mahasiswa jelas bukan dalang, mereka hanya pion yang diperalat. Saya bersyukur, empat mahasiswa Unmul yang sempat ditahan akhirnya mendapat penangguhan. Penasihat hukum mereka, Paulinus Dugis, berharap perkara ini segera selesai. “Biarkanlah adik-adik ini melanjutkan pendidikannya, karena mereka ini kan masih kuliah,” ucapnya. Bahkan ada yang sedang menyusun skripsi. Proses hukum memang harus berjalan, tetapi masa depan mereka juga perlu dijaga.

Sikap kampus patut diapresiasi. Rektor hadir memberi jaminan, alumni ikut menunjukkan dukungan. Ketua IKA FISIP Unmul, Andi Fathul Khair, menegaskan mahasiswa dan alumnus harus menyalurkan aspirasi secara damai dan konstruktif, tanpa terjebak anarkisme.

Baca Juga:   Selambai Malam Hari: Akses Mudah, Pujasera Tertata, Wisata Menjanjikan

Satu hal tak bisa ditawar: marwah gerakan mahasiswa hanya hidup lewat jalan damai.

Kini, tantangan mahasiswa berbeda di era 1998. Jika dulu menghadapi represi fisik, hari ini mereka dihadapkan pada derasnya arus digital. Informasi, hoaks, dan provokasi begitu mudah menyusup ke ruang percakapan daring. Tanpa literasi digital, mahasiswa mudah terseret narasi menyesatkan.

Untuk itu, mahasiswa harus berani bertanya, menguji fakta, dan tidak gampang percaya pada hasutan. Kritik harus tetap hidup, karena itu hak sekaligus kewajiban moral. Tetapi kritik mesti hadir dengan cara beradab. Aksi damai, diskusi terbuka, dan argumentasi berbasis data adalah jalan menjaga legitimasi moral. Begitu terjebak dalam kekerasan, kepercayaan publik akan runtuh.

Kasus bom molotov di Samarinda harus jadi pelajaran. Bukan untuk membungkam mahasiswa, melainkan memperkuat mereka agar tak mudah diprovokasi.

Mahasiswa harus menyalakan api pengetahuan, bukan api provokasi. Kampus adalah rumah intelektual, bukan arena bakar. Dan kita semua—kampus, alumni, aparat, hingga masyarakat, punya tanggung jawab menjaga marwah gerakan mahasiswa dari tangan segelintir orang yang ingin menungganginya. (*)

Baca Juga:   Dari DPR RI hingga Kepala Daerah di Kaltim: Gaji Fantastis, Korupsi Jalan Terus

Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

BERITA POPULER