Masih menarik menganalisis kebijakan berbagai daerah di Kaltim dalam menetapkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Apalagi, sejak Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran Nomor 900.1.13.14528/SJ tanggal 14 Agustus 2025 yang secara tegas mengingatkan kepala daerah agar tidak gegabah dalam menaikkan tarif pajak maupun retribusi.
Saya juga menerima banyak laporan dari wartawan Media Kaltim yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, terkait dinamika kebijakan ini. Gambaran di lapangan menunjukkan beragam pendekatan dilakukan pemerintah daerah dalam merespons tekanan fiskal.
Di Paser, Pemkab memutuskan menaikkan tarif minimal PBB dari Rp10 ribu menjadi Rp12 ribu per SPPT. Angkanya memang tidak besar, tapi cukup menimbulkan kesan bahwa ada tambahan beban. Alasan resmi yang disampaikan adalah penyesuaian keputusan bupati. Namun narasi semacam itu jarang sampai ke masyarakat. Yang mereka rasakan hanyalah tagihan pajak yang naik.
Balikpapan memilih langkah berbeda. Rencana kenaikan NJOP tahun ini ditunda, sehingga potensi pendapatan daerah berkurang hingga Rp20–25 miliar. Meski demikian, kelebihan pembayaran PBB dipastikan menjadi kompensasi untuk tahun berikutnya. Langkah ini memberi kepastian bagi masyarakat bahwa hak mereka tidak hilang. Memang penerimaan daerah tertekan, tapi ada pesan jelas bahwa Pemkot tidak serta-merta membebankan warganya.
Di Berau, kebijakan yang ditempuh justru bersifat insentif. Pemkab memberikan diskon 10 persen bagi warga yang melunasi SPPT lebih cepat, sekaligus menghapus sanksi administrasi untuk tunggakan sejak 1996. Cara ini tidak hanya meringankan, tapi juga mendorong percepatan penerimaan.
Samarinda mengambil jalur moderat dengan melakukan penyesuaian NJOP, tetapi membatasi kenaikan maksimal 25 persen dari tahun sebelumnya. Ditambah lagi dengan diskon 17 persen dan pembebasan denda. Pendekatan ini relatif rasional karena tetap menjaga kemampuan bayar masyarakat.
Pengalaman pribadi saya di Bontang menggambarkan sisi lain dari kebijakan serupa. Pemkot memberi penghapusan denda untuk tunggakan 2018–2024. Kebijakan ini terdengar menguntungkan, tetapi praktik di lapangan justru menyulitkan. Dokumen tambahan dan syarat administrasi membuat warga lebih memilih membayar denda daripada mengurus prosedur yang berbelit. Niat baik sering kehilangan arti ketika implementasi tidak sederhana.
Kukar, PPU, dan Kutim juga punya cerita sendiri. Kukar tidak menaikkan persentase PBB, hanya melakukan pemutakhiran data. Hasilnya, ada 150 ribu persil yang justru dinilai nol rupiah karena nilainya terlalu kecil. PPU menempuh langkah selektif dengan menaikkan NJOP hanya di kawasan industri atau wilayah yang berkembang pesat. Sementara Kutim lebih menekankan penyesuaian klasifikasi tarif agar lebih adil, bukan menaikkan NJOP yang sudah lama tidak berubah.
Pada akhirnya, berbagai langkah yang ditempuh Pemkot dan Pemkab ini bermuara pada masalah yang sama: ruang fiskal daerah yang makin sempit. Tahun depan, transfer pusat dipotong dari Rp864 triliun menjadi Rp650 triliun. Pemangkasan hampir 30 persen ini langsung memukul kabupaten/kota yang 70–80 persen APBD-nya bergantung pada dana transfer.
Jalan paling cepat tentu menaikkan PBB, tetapi risiko sosialnya jauh lebih besar. Lonjakan tagihan tidak hanya memberatkan warga, tapi juga berpotensi menggerus legitimasi pemerintah daerah.
Karena itu, pemerintah daerah perlu berani mencari sumber lain. Pajak digital, optimalisasi aset, retribusi berbasis pelayanan nyata, hingga kerja sama dengan swasta seharusnya digarap lebih serius.
Pemerintah pusat pun tidak cukup hanya memangkas transfer lalu melepas tanggung jawab. Jika ruang fiskal daerah dipersempit, harus ada kompensasi kewenangan agar daerah bisa menggali potensi baru secara proporsional.
Kebijakan PBB di Kaltim memperlihatkan dilema nyata. Ada yang memilih menaikkan, ada yang memberi keringanan, ada pula yang menahan dengan insentif. Pertimbangannya bisa berbeda, tetapi muaranya tetap sama, bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal dan kemampuan rakyat.
Bila keseimbangan ini hilang, keresahan atas tagihan pajak bisa berubah menjadi penolakan lebih besar. Jauh lebih berbahaya daripada sekadar kekurangan penerimaan. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.