Masih soal Sidrap. Saya akhirnya memegang naskah lengkap Putusan Sela Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-PS/PUU-XXII/2024. Saya perlu membacanya sampai tuntas, apalagi mediasi terakhir yang difasilitasi Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud gagal tanpa kesepakatan.
Mari kita bedah, apa sebenarnya yang diperintahkan MK, dan apa artinya untuk warga yang sudah 22 tahun hidup di wilayah abu-abu.
Perkara ini bukan hanya sekadar soal peta batas wilayah, melainkan uji materi Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2000, terhadap Undang-Undang Dasar 1945, khususnya menyangkut batas wilayah Kota Bontang dengan Kutim dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Pemohonnya jelas dan sah. Saat itu, Basri Rase yang menjabat sebagai Wali Kota Bontang bersama unsur pimpinan DPRD Kota Bontang bertindak untuk dan atas nama Pemkot Bontang. Semua tercantum di lembar putusan dan menegaskan duduk perkara sejak awal.
Di sinilah MK mengambil langkah yang menurut saya tajam dan terukur. MK tidak buru-buru menarik garis final “Sidrap masuk mana”, melainkan mengunci para pihak di meja mediasi.
Gubernur Kaltim diperintahkan memfasilitasi mediasi antara Bontang dan Kutim di bawah supervisi Kemendagri. Batas waktunya maksimal tiga bulan sejak putusan diucapkan 14 Mei 2025. Lalu tujuh hari kerja untuk Gubernur melapor ke MK, dan tujuh hari kerja untuk Kemendagri melaporkan supervisinya. Ini perintah di amar putusan.
Mengapa MK memilih putusan sela? Karena hak warga dan kepastian layanan tidak boleh disandera proses panjang. Aturan mainnya ada di Pasal 69 PMK 2/2021 membolehkan MK menjatuhkan putusan sela meski para pihak tidak meminta, bila dibutuhkan oleh praktik, rasa keadilan, dan perlindungan hak konstitusional. Dan dalam kasus Sidrap, syarat itu terpenuhi. Fokusnya warga dulu, baru garis di peta.
Di sisi lain, MK juga menegaskan legal standing Pemerintah Daerah (Pemda). Pemda adalah badan hukum publik yang bisa dirugikan secara konstitusional, dan kepala daerah berwenang mewakili daerah di dalam dan di luar pengadilan. Jadi tidak ada yang janggal ketika Pemkot Bontang maju menguji norma Undang-Undang ini.
Substansi perkara, termasuk peran “penjelasan pasal” dan peta lampiran akan dinilai dalam putusan akhir bila mediasi tetap buntu.
Lantas, apa maknanya untuk Sidrap hari ini? Maknanya, negara memaksa administrasi bekerja. Selama ini memang warga Sidrap, sebagian besar sudah dilayani Bontang, tetapi tanpa dasar hukum yang final dan jelas. MK tidak mau status quo ini terus dibiarkan.
Karena itulah, putusan sela mewajibkan pemerintah bekerja secara administratif. mengumpulkan data teknis, memverifikasi dokumen kependudukan, memetakan ulang arus layanan pendidikan dan kesehatan, lalu melaporkannya resmi ke MK. Warga harus tetap dilayani tanpa diskriminasi, tapi pelayanan itu kini harus disertai kepastian hukum dan pertanggungjawaban administratif. Hasilnya bukan hanya klaim, melainkan laporan konkret yang bisa diuji MK sesuai tenggat waktu.
Lantas bagaimana kalau mediasi gagal? MK akan menarik ‘garis final’ berdasarkan norma dan fakta yang terkumpul. Tidak ada lagi ruang untuk menggantung warga.
Putusan sela MK adalah ultimatum administratif. MK memberi waktu, tetapi juga memasang deadline. Gubernur memimpin, Kemendagri mengawal standar, dan dua daerah datang dengan bukti, bukan bendera.
Setelah mediasi terakhir terbukti buntu, maka jalurnya tinggal menunggu garis final dari MK. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.