BEBERAPA tulisan saya sebelumnya sudah membahas persoalan Sidrap, wilayah perbatasan Bontang–Kutai Timur (Kutim) yang selama 22 tahun tak kunjung mendapatkan kejelasan administrasi. Sengketa antara Pemkot Bontang dan Pemkab Kutim ini terus bergulir, bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Persoalan tapal batas ini sudah berulang kali saya ikuti, baik lewat sejarah maupun cerita langsung dari warganya. Namun hari ini (11/8), saya mendapatkan laporan lengkap dari wartawan kami yang turun ke lapangan, Darman, Dwi Suliati, dan Syakurah, soal kunjungan langsung Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud bersama rombongan. Hadir juga pejabat dari Pemkot Bontang dan Pemkab Kutim.

Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari putusan sela MK yang memerintahkan mediasi ulang yang difasilitasi Gubernur Kaltim. Tenggatnya hanya tiga bulan tujuh hari sejak sidang terakhir, yang akan berakhir 13 Agustus 2025. Artinya, waktu penyelesaian tinggal menghitung hari.
Di lokasi, kedua daerah ini telah menyiapkan penyambutan untuk orang nomor satu di Kaltim. Pemkab Kutim mendirikan tenda di RT 14, Desa Martadinata, Kecamatan Kutim, bahkan memboyong pelajar dari SDN 007 Teluk Pandan untuk ikut menyambut.
Tak jauh dari situ, Pemkot Bontang mendirikan tenda di RT 21, Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara. Kedua titik tersebut menunjukkan upaya masing-masing daerah menegaskan keberadaan dan klaimnya atas wilayah yang masih bersengketa.

Namun, wilayah yang menjadi inti sengketa, Sidrap Luar yang mayoritas warganya ber-KTP Bontang dan terdiri dari 7 RT di Kelurahan Guntung, justru tidak menjadi prioritas kunjungan. Hanya rombongan Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni yang sempat berbelok ke sana sebelum akhirnya ikut menuju lokasi rombongan Gubernur.
Padahal di tempat itu warga sudah menyiapkan tenda dan kursi untuk menyambut. Situasi ini membuat sebagian warga Sidrap Luar merasa terabaikan. Apalagi mereka berharap aspirasinya didengar langsung.
Sidrap sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. Wilayah seluas 165 hektare ini kini menjadi objek sengketa yang menunggu keputusan akhir. Dalam kunjungannya, Gubernur Rudy Mas’ud menegaskan bahwa Pemprov hadir untuk melindungi hak warga dan memastikan pelayanan publik tetap berjalan.
“Tidak boleh ada diskriminasi pelayanan akibat perbedaan persepsi batas wilayah. Semuanya adalah warga Indonesia, semuanya adalah warga Kalimantan Timur,” ujarnya.
Ia menambahkan, warga bebas memilih mau masuk Bontang atau Kutim, asalkan standar pelayanan minimum, pendidikan, kesehatan, infrastruktur strategis, lapangan pekerjaan, jaminan sosial, keamanan, tetap terpenuhi. Rudy juga mengingatkan, jika tak ada kesepakatan daerah, kasus ini akan diputuskan di MK.
Sementara Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud menyebut bahwa persoalan batas bukan sekadar garis di peta. “Ini soal administrasi pemerintahan, siapa yang berhak, bagaimana pelayanan publik bisa berjalan, dan yang paling penting adalah fairness, rasa keadilan. Keputusan harus transparan, akuntabel, aspiratif, dan tidak membuat ada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil,” bebernya.
Dari Pemkot Bontang, Wali Kota Neni Moerniaeni menegaskan bahwa 7 RT di Sidrap dulunya memang masuk wilayah Kelurahan Guntung. “Akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lebih dekat ke Bontang. Ini jeritan hati warga. Ketika SMA, SD, SMP, rumah sakit, dan puskesmas semuanya di Bontang, wajar mereka ingin masuk Bontang,” katanya. Data Disdukcapil Bontang mencatat 2.297 KTP dan 633 Kartu Identitas Anak telah diterbitkan untuk 3.195 jiwa di wilayah ini.
Wakil Wali Kota Bontang Agus Haris menambahkan, pengurusan KTP tidak pernah dipaksakan. “Warga mengurus administrasi karena itu efektif untuk mendapatkan pelayanan. Bahkan anggaran stimulan RT tidak bisa masuk jika administrasi mereka di Kutim,” ujarnya.
Ia juga memprotes sikap Kepala Biro Pemerintahan dan Otda Kaltim, Siti Sugianti, yang dinilainya tidak netral saat memandu diskusi. “Jangan bilang korban. Ini bahaya, bisa memecah belah,” tegasnya.

Sementara Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman memastikan komitmen pelayanan kepada warga Sidrap. “Daerah wajib memberlakukan standar pelayanan minimal kepada masyarakatnya, dan ini akan terus kami lakukan untuk Desa Martadinata, termasuk Dusun Sidrap,” ujarnya.
Ia menyebut perbaikan jalan dan pemasangan pipa PDAM dari SPAM Regional yang sebentar lagi akan masuk. Kepala Desa Martadinata, Sutrisno, meluruskan bahwa warga ber-KTP Kutim tidak pernah dipersulit saat berobat di Bontang. “Pelayanan kesehatan tetap berjalan di dua wilayah,” katanya.
Di akhir, Perwakilan Kemendagri menegaskan bahwa semua masukan dari warga, kepala daerah, dan DPRD sudah dicatat. “Semua akan didiskusikan lebih lanjut. Ada batas waktu hingga Agustus ini. Jika tidak ada kesepakatan, akan naik ke pusat dan diputuskan melalui Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
Dari hasil kunjungan ini, semua pihak mengaku siap menjamin pelayanan dan memegang standar pelayanan minimum. Namun, yang terpenting sekarang adalah menjaga netralitas.
Warga Sidrap sudah cukup lelah menunggu. Kepastian hukum dan administrasi harus segera diberikan agar pembangunan dan pelayanan tidak lagi terhambat.
Gubernur dan Ketua DPRD Kaltim memegang peran penting sebagai penengah yang adil. Kemendagri harus memastikan proses ini bersih dari kepentingan politik dan murni berdasar data, sejarah, dan aspirasi warga.
Keputusan akhir harus menjawab satu pertanyaan. Di bawah administrasi mana warga Sidrap nanti mendapatkan pelayanan terbaik, akses termudah, dan perlindungan hak yang setara?
Jika netralitas dijaga, Sidrap bisa keluar dari status “terkatung-katung”. Jika tidak, maka ketidakpastian ini akan terus berlanjut dan itu adalah kegagalan bersama. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.