KUTAI BARAT – Lebih dari enam dekade, masyarakat Kampung Kelian Dalam menggantungkan hidup dari tambang emas tradisional. Dari alat dulang sederhana hingga mesin dompeng, aktivitas ini menjadi tumpuan ekonomi utama warga di bantaran Sungai Kelian.
Namun, belakangan mereka khawatir, aktivitas ini bisa diberangus karena belum mengantongi izin resmi. Dalam sosialisasi yang digelar Dinas Lingkungan Hidup (DLH) bersama Polres dan Kodim 0912 Kubar, Kamis (12/6/2025), warga menyuarakan harapan agar pemerintah tidak hanya melihat sisi legalitas, tapi juga realitas sosial-ekonomi yang dihadapi.
Salah satu warga, Yati, menegaskan bahwa aktivitas mendulang emas dilakukan di atas lahan milik pribadi, tanpa merusak area lain. “Memang sebagian warga menggunakan alat berat seperti ekskavator untuk menggali batu besar, tapi proses akhirnya tetap manual. Kami mendulang sendiri,” ujarnya.
Senada, Hayati—ibu rumah tangga lain yang ikut mendulang—menyampaikan bahwa pasir sisa galiannya bahkan dibagikan cuma-cuma oleh pemilik lahan. Ia menyebut para pendulang kerap berpindah lokasi karena kandungan emas yang makin menipis.
“Kalau tambang rakyat ini dihentikan, ribuan warga—sekitar 1.923 jiwa—kehilangan mata pencaharian. Ini bukan kegiatan ilegal semata, tapi bentuk ikhtiar kami menyambung hidup sejak tahun 1960,” tegasnya.
Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat menggunakan alat dulang kayu dan mesin dompeng diesel berdaya antara 15–30 unit, sebagian diletakkan di rakit apung. Mereka juga dibantu alat berat untuk menggali bongkahan batu besar yang sulit dikerjakan manual.
Kegiatan mendulang emas sangat mengandalkan ketekunan, pengamatan tajam, dan stamina tinggi. Tak jarang warga berendam berjam-jam di air, diterpa terik matahari, hanya demi memperoleh serpihan emas. Dalam kondisi mujur, seorang pendulang bisa mendapat 10–15 gram emas per hari. Namun, itu pun tidak pasti.
“Menambang emas itu seperti berjudi dengan alam,” ucap salah seorang pendulang. “Ada hari panen, ada hari nol.”
Sayangnya, kegiatan tambang rakyat ini mendapat sorotan tajam dari kelompok Aliansi Penyelamat Hutan Kutai Barat (APHKB) karena dianggap ilegal. Masyarakat yang menambang tanpa Surat Izin Penambangan Rakyat (SIPR) dicap sebagai penambang liar, atau dikenal sebagai PETI (Penambangan Tanpa Izin).
Meski begitu, warga menilai aktivitas mereka justru menjadi solusi ekonomi bagi rakyat kecil. Hasil emas digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, membiayai sekolah anak, berobat, membeli kendaraan, dan memperbaiki taraf hidup.
Kini, mereka berharap pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dapat mencari jalan tengah. Mereka tidak menolak aturan, namun meminta solusi agar aktivitas tambang rakyat bisa berjalan legal, aman, dan tetap berpihak pada keberlanjutan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal.
Pewarta: Ichal
Editor: Agus S