BUKAN pengalaman baru bagi saya melintasi poros Samarinda–Bontang. Sejak 2010, saat pertama kali bertugas mendirikan koran lokal di Bontang, jalan sepanjang 115 km ini sudah jadi urat nadi penghubung. Kondisinya tak pernah benar-benar beres.
Jangan bayangkan mulus seperti jalan nasional di Pulau Jawa atau bahkan negara tetangga. Hampir setiap kali melintas, hanya sesekali terasa nyaman. Itupun setelah adanya perbaikan atau tambal sulam. Namun tak sampai dua bulan, jalan kembali rusak. Lubang, gelombang, dan tambalan seadanya seolah menjadi wajah abadi jalur ini.
Jumat (15/8), saya kembali menempuh jalur ini. Satu titik kerusakan cukup parah tampak di kilometer 16 dari Bontang. Kerusakan lain juga bertebaran di sejumlah titik. Terutama di rentang kilometer 14 hingga 22, yang sangat membahayakan pengguna jalan karena kondisi berlubang, bergelombang, dan rawan kecelakaan. Setelah itu, jalan relatif lebih baik, meski tetap ada lubang di beberapa bagian. Fakta di lapangan menunjukkan, perbaikan memang ada, tapi sifatnya parsial, tidak pernah tuntas.

Bagi warga Bontang dan Kutai Timur (Kutim), poros ini menjadi akses utama menuju Samarinda. Memang ada jalur alternatif melalui pesisir pantai, dari Bontang Lestari masuk wilayah Kukar melewati Marangkayu hingga Muara Badak. Namun jalur ini, medannya lebih berat. Meski dalam beberapa tahun terakhir sedikit lebih nyaman setelah diperbaiki Pemkab Kukar. Untuk jalur pesisir pantai ini, akan saya tulis pada bagian lain.
Selama bertahun-tahun, saya mencatat titik-titik rawan. Gunung Menangis, yang dulu memiliki kemiringan hingga 21 persen dengan lebar hanya 6–8 meter, kerap menelan korban. Kendaraan gagal menanjak, bahkan mundur tak terkendali. Baru setelah perbaikan besar 2015–2016, kontur diturunkan jadi 13 persen, jalan diperlebar 14,5 meter, dan dinding penahan ditambah. Risiko memang berkurang, tapi tetap berbahaya bagi truk kelebihan muatan atau sopir lalai.
Namun, Gunung Menangis bukan satu-satunya titik rawan. Ada pula Gunung Hantu di KM 27, Gunung Tangga di Tanah Merah, dan sejumlah titik lain yang kerap menelan korban. Data kepolisian mencatat, sepanjang 2020–2025, puluhan jiwa melayang di jalur ini. Mulai dari pengendara motor yang terperosok lubang hingga tabrakan beruntun dengan truk.
Kawasan Tanah Datar bahkan lama dijuluki “medan maut” sebelum akhirnya dibangun rigid pavement (beton). Kini jalannya mulus, menjadi bukti bahwa perhatian serius mampu mengubah wajah jalan berbahaya menjadi lebih aman.

Komentar warga seragam. Ada perbaikan, tapi tidak pernah tuntas. Omed, sopir travel asal Bontang, menuturkan, “Sekarang lumayan lebih mulus dibanding beberapa tahun lalu. Tapi biasanya tidak lama. Sebentar rusak lagi. Harusnya konstruksinya diperkuat supaya tidak terus-terusan diperbaiki.”
Nada lebih keras datang dari sopir truk yang saya temui di warung. “Pejabat bolak-balik lewat sini, apa mereka tidak merasakan bahayanya? Coba sekali bertukar nasib. Biar mereka yang membawa truk bermuatan, sementara kami yang mengemudi mobil pribadi. Baru mereka akan tahu bagaimana rasanya menantang maut di tanjakan ekstrem,” ujarnya dengan nada jengkel.
Kritik ini sejatinya sudah sampai ke telinga pemerintah. Apalagi Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud (Harum), baru saja melintasi jalur ini dan mengakui perlunya percepatan perbaikan.
“Alhamdulillah jalannya masih bisa ditempuh, meski banyak yang harus segera diperbaiki. Jalan rusak bukan hanya bikin waktu tempuh tidak efisien, tapi juga meningkatkan risiko kecelakaan dan merugikan pengguna jalan,” katanya.
Ia menambahkan sudah berkoordinasi langsung dengan Menteri PUPR dan BBPJN. “Harapan kita blokir anggaran APBN bisa segera dibuka. Pemeliharaan jalan di Kaltim, termasuk poros ini, harus diprioritaskan agar manfaatnya bisa dirasakan sekarang,” ucap Gubernur.

Di sisi lain, kini muncul mimpi besar. Jalan Tol Samarinda–Bontang atau Tol Sambo. Proyek sepanjang 94 kilometer ini masuk prioritas RPJMD Kaltim 2025–2029, dengan rencana trase Palaran–APT Pranoto sepanjang 31,8 km dan APT Pranoto–Bontang Barat 64,8 km. Biayanya diperkirakan Rp11–15 triliun, dengan kendala utama pada 14–17 km lahan yang melintasi hutan lindung. Target konstruksi optimistis dimulai 2028. Jika terwujud, tol ini akan memangkas waktu tempuh, memperkuat kawasan industri Bontang, serta mendukung akses ke IKN.
Tetapi apakah warga harus menunggu dibangunnya jalan tol untuk merasakan jalan yang layak? Kita sudah belajar dari Tanah Datar dan Gunung Menangis. Dengan keseriusan, titik berbahaya sekalipun bisa diubah menjadi jalan aman. Mengapa pola yang sama tidak diterapkan di seluruh ruas poros?
Membangun tol penting, tetapi merawat jalan nasional adalah kewajiban dasar negara. Poros Samarinda–Bontang adalah denyut ekonomi, jalur logistik, akses pendidikan, sekaligus jalan hidup ribuan warga.
Jangan tunggu tol untuk merasakan jalan mulus. Mulailah dengan merawat yang ada sekarang! Karena jalan nasional adalah wajah negara di hadapan warganya. (*)
Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.