SELAMA 14 tahun tinggal di Bukit Sekatup Damai (BSD), saya melihat bagaimana warga selalu menjaga tradisi lewat beragam kegiatan. Dari lomba HUT 17 Agustus, malam takbiran Idul Adha, hingga pawai obor 1 Muharram. Semua berlangsung meriah, meski biasanya hanya lingkup RT yang dikoordinir Badan Koordinasi Lingkungan (BKL).
Namun Minggu, (24/8/2025) pagi hingga siang ini, suasananya berbeda. Acara naik level. BSD ditetapkan sebagai pusat Karnaval Budaya Nusantara tingkat Kelurahan Gunung Elai, Kota Bontang.
Kegiatan dipusatkan di bundaran BSD, tepat di depan Masjid Fathul Khoir. Lapak UMKM mengelilingi bundaran, sementara panggung besar berdiri di tengah lapangan. Aroma gorengan, jajanan pasar, hingga kopi seduh menambah semarak suasana.
Gerimis sempat turun subuh, namun reda di pagi hari dan tidak mengurangi semangat. Sekitar 1.900 peserta tercatat ikut ambil bagian. Jumlah besar untuk kegiatan tingkat kelurahan.
Karnaval dibuka penampilan drum band Batalyon Arhanud 7/ABC. Suaranya menggelegar, dentuman bass drum menggema di depan panggung kehormatan yang dihadiri pejabat Pemkot Bontang, kecamatan, dan kelurahan. Setelah itu, barisan demi barisan RT mulai memasuki rute karnaval.
Rutenya berawal dari Jalan Gunung Putri, belok ke Jalan Gunung Tambora, lanjut ke Jalan Gunung Merbabu, masuk Jalan Gunung Semeru, lalu ke Jalan Gunung Cermai, dan finis di bundaran BSD, tepat di depan panggung utama.



Hampir seluruh RT se-BSD ikut serta, ditambah komunitas seperti Bontang Onthel Community dan komunitas lainnya. Anggota DPRD Bontang, Sumardi, juga tampak dalam rombongan RT 23 HOP 6 dengan membawa puluhan peserta. “Kegiatan seperti ini penting untuk mempererat persatuan. Selain hiburan, juga jadi ajang silaturahmi dan kebanggaan warga,” ujarnya.
Lurah Gunung Elai, Sulistyo, turut memberi apresiasi. “Kami berterima kasih kepada semua warga, RT, komunitas, dan pelaku UMKM yang ikut menyukseskan karnaval ini. Antusias masyarakat luar biasa, meski sempat was-was karena subuh gerimis. Semoga kegiatan ini terus menjadi wadah kebersamaan warga Gunung Elai,” katanya.
Antusiasme besar ini sempat membuat arus lalu lintas tersendat. Dengan hanya satu pintu masuk-keluar, polisi harus bekerja ekstra. Saat barisan depan tiba di bundaran, peserta di belakang masih menunggu giliran. Rutenya memang pendek, tapi semangatnya panjang.


Kreativitas warga menjadi daya tarik tersendiri. RT 27 menghadirkan gunungan sembako dari mie instan dan biskuit. RT 41 tampil kompak dengan spanduk “Anak Hebat Indonesia, Menuju Indonesia Emas”, warganya mengenakan busana adat merah-emas lengkap dengan hiasan kepala khas Melayu dan Minangkabau. Ada juga miniatur ikan raksasa merah muda, dihiasi jaring dan batik, dikawal kibaran Merah Putih.
Atraksi lain tak kalah meriah. Seorang peserta tampil dengan kostum sayap raksasa bermotif Dayak. Ada pula keluarga yang menghias gerobak bertuliskan “Dirgahayu Indonesiaku”. Sang ayah bersarung batik menggendong balita, ditemani anak-anak berbaju adat Jawa. Dari balita hingga lansia, semua ikut ambil bagian. Anak-anak SD pun berbaris dengan seragam merah putih, wajah ditempeli stiker bendera.
Panitia memberi aturan, setiap peserta wajib menampilkan minimal sepuluh busana adat Nusantara. Di panggung kehormatan, tiap kelompok diberi waktu tiga menit untuk atraksi. Hadiah puluhan juta rupiah disiapkan untuk kategori “terheboh” dan “terfavorit”. Namun lebih dari sekadar hadiah, yang nyata adalah energi kebersamaan warga.



UMKM pun ikut merasakan berkah. Lebih dari 40 tenant kuliner dan produk lokal dipadati pengunjung. Dari es cincau hijau, kerupuk, hingga jajanan khas Bontang, semua laris. Ekonomi bergerak, budaya hidup, warga terhibur. Deretan doorprize—dari sepeda listrik hingga paket sembako—menambah semarak acara.
Hari ini, saya melihat miniatur Indonesia kecil di Bontang. Beragam, meriah, dan penuh kebersamaan. Tema “Merdeka dalam Budaya, Bersatu dalam Nusantara” bukan hanya slogan, tapi nyata di jalanan BSD.
Setelah lebih satu dekade menetap di sini, inilah momen yang terasa paling semarak. Sebuah pesta rakyat yang layak diulang tiap tahun, karena kebersamaan selalu melahirkan persatuan. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.