SELASA (15/7) saya ikut mendampingi H. Arief Widagdo Soetarno, S.H., M.Si., dalam sidang perkara pidana anak di Pengadilan Negeri Bontang. Perkara ini cukup menjadi perhatian publik. Bukan hanya karena melibatkan unsur perlindungan anak, tetapi juga karena tarik-menarik antara logika hukum dan persepsi publik.
Sekilas, perkaranya terlihat sudah terang: anak perempuan di bawah umur, terjadi hubungan badan, dan terdakwa adalah laki-laki dewasa. Tapi benarkah sesederhana itu?
Jaksa menyusun dakwaan dengan tiga lapis: Pasal 81 ayat (1) dan (2) dari Undang-Undang Perlindungan Anak, serta Pasal 6 huruf c dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Semua pasal itu membutuhkan pembuktian bahwa hubungan dilakukan secara paksa, dibujuk dengan tipu daya, atau terjadi karena adanya pemanfaatan kerentanan.
Namun, ketika kami cermati isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) korban, narasi yang muncul tidak sepenuhnya menunjang dakwaan yang diajukan.
Korban, dalam keterangannya, menyatakan bahwa ia meninggalkan rumah atas kehendaknya sendiri, bukan karena diiming-imingi atau dibawa paksa. Ia mengaku mencari kebebasan karena tidak nyaman tinggal bersama keluarganya.
Ia sendiri yang menghubungi terdakwa melalui media sosial dan meminta bantuan untuk menginap. Ia yang terlibat dalam rencana pemesanan kamar, dan mengatur pertemuan bersama teman-temannya. Semua itu terjadi sebelum hubungan badan yang dipermasalahkan dalam perkara ini.
Keterangan dalam BAP menyebutkan bahwa hubungan terjadi di hotel pada malam hari, dua kali dalam rentang waktu yang singkat. Namun, tidak ditemukan adanya kekerasan fisik dalam hasil visum.
Tidak pula ditemukan bukti adanya paksaan verbal atau ancaman. Justru, keterangannya menggambarkan pergaulan anak-anak muda yang salah arah. Bukan skenario pemaksaan seksual.
Hukum pidana bukan cuma soal siapa salah dan siapa benar. Tapi soal apakah benar ada niat jahat, dan apakah ada kuasa yang dipakai untuk merugikan orang lain.
Dalam perkara ini, terdakwa tidak memiliki posisi kuasa. Tidak memberi janji-janji. Tidak memanipulasi secara terang. Yang terjadi lebih mirip pergaulan remaja yang lepas kontrol. Bukan kejahatan seksual yang direncanakan.
“Kami tidak menyangkal bahwa ada hubungan. Tapi jika disebut sebagai bujuk rayu atau paksaan, maka unsur itu harus dibuktikan. Jangan sampai rasa simpati dijadikan substitusi atas alat bukti,” kata H. Arief Widagdo.
Kami sepakat, perkara ini memang perlu diproses hukum. Tapi jangan sampai hukum dipakai untuk mengadili soal moral
Tidak semua tindakan yang dinilai “tidak pantas” secara sosial otomatis masuk dalam delik pidana. Apalagi jika relasi terjadi dalam suasana yang tanpa tekanan, tanpa kuasa dominan, dan terjadi karena kelalaian orang dewasa di sekitar mereka.
Perkara ini bukan soal pembenaran. Ini soal bagaimana hukum memisahkan mana yang benar-benar kejahatan, dan mana yang merupakan krisis sosial yang salah ditangani.
Jika semua bentuk interaksi remaja yang gagal diarahkan akhirnya dibawa ke pengadilan, maka penjara akan penuh oleh kekeliruan kolektif kita sebagai orang tua, guru, dan masyarakat.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan tuntutan, Selasa (15/7), jaksa tetap pada pendiriannya. Terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 81 UU Perlindungan Anak dan dituntut pidana 7 tahun penjara, denda Rp30 juta subsider 6 bulan kurungan, serta restitusi sebesar Rp5 juta. Tuntutan ini menunjukkan bahwa sistem hukum sering kali tidak memberi cukup ruang untuk mempertimbangkan situasi secara utuh.
Sidang berikutnya dijadwalkan pekan depan. Saat itu, penasihat hukum akan menyampaikan pembelaan. Di sanalah semua argumen akan disampaikan dengan jelas—bahwa perkara ini tak bisa dilihat hitam-putih.
Saya berharap majelis hakim bisa melihat perkara ini dengan jernih. Tidak hanya melihat pasal, tapi juga memahami situasinya secara utuh. Keadilan bukan soal seberapa berat hukuman, tapi apakah hukuman itu memang pantas. (*)
Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.