KAMIS (7/8) malam, saya hadir di ruang rapat paripurna DPRD Kota Bontang, Gedung Auditorium 3 Dimensi. Agendanya penandatanganan nota kesepakatan antara Wali Kota dan DPRD terkait Rancangan Perubahan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) serta Perubahan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD 2025. Terakhir kali saya menghadiri forum resmi seperti ini sekitar 2023, saat masih menjabat Komisioner Bawaslu Bontang.
Formasi pimpinan DPRD malam itu lengkap. Ketua DPRD Andi Faizal didampingi Wakil Ketua I Sitti Yara dan Wakil Ketua II Maming. Di sisi eksekutif, Wali Kota Neni Moerniaeni hadir bersama Wakil Wali Kota Agus Haris. Momen hadirnya pimpinan lengkap seperti ini jarang terjadi. Tanda bahwa hubungan eksekutif–legislatif sedang dalam kondisi ‘mesra’.
Sekda Bontang Aji Erlynawati juga hadir. Sayangnya tidak semua kepala OPD tampak hadir. Padahal kehadiran mereka penting, mengingat forum ini membahas dokumen yang akan menjadi acuan anggaran kerja masing-masing OPD.
Seorang pejabat yang saya temui mengakui, ritme kerja jajaran di bawah Neni–Agus Haris belum sejalan dengan kecepatan keduanya dalam menjalankan program dan merespons keluhan masyarakat.
Di grup WhatsApp Pemkot Bontang, Wali Kota Neni bahkan lebih sering membagikan keluhan warga, padahal secara teknis, tindak lanjut mestinya dilakukan langsung oleh OPD terkait.
Belum lama ini, secara khusus, saya menanyakan kepada Neni soal rencana mutasi pejabat. Ia menyebut prosesnya sedang disiapkan dan sejak dilantik 20 Februari 2025, ia sudah mulai melakukan evaluasi kinerja. Sesuai ketentuan Permendagri, mutasi baru dapat dilakukan enam bulan setelah kepala daerah dilantik. Artinya, paling cepat, mutasi bisa digelar pada akhir Agustus 2025.
Kondisi ini tentu jadi sinyal kuat jelang mutasi bahwa budaya kerja Pemkot perlu diselaraskan dengan gaya kepemimpinan responsif Neni–Agus Haris. Usai paripurna, saat saya menyinggung hal tersebut, Neni menjawab singkat, “Ya begitulah.”
Sementara dalam sambutannya, Neni mengapresiasi pimpinan dan anggota DPRD, khususnya Badan Anggaran, yang telah bekerja keras membahas rancangan perubahan KUA dan PPAS. Ia menjelaskan bahwa KUA memuat kebijakan pendapatan, belanja, dan pembiayaan beserta asumsi dasar setahun. Sedangkan PPAS berisi program prioritas dan batas maksimal anggaran bagi perangkat daerah. Dasar hukum perubahan mengacu pada PP Nomor 12 Tahun 2019.
Tahun ini, perubahan didorong oleh dinamika nasional dan daerah, termasuk penyesuaian asumsi pendapatan, pergeseran program, penggunaan SILPA, dan pemenuhan kebutuhan mendesak.
Dalam perubahan ini, pendapatan daerah naik 4,98 persen atau sekitar Rp137 miliar, dari Rp2,756 triliun menjadi Rp2,893 triliun. Belanja daerah naik 5,07 persen atau sekitar Rp153 miliar, dari Rp3,022 triliun menjadi Rp3,175 triliun. Sementara itu, belanja modal meningkat 6,01 persen atau sekitar Rp15,97 miliar, dari Rp266,15 miliar menjadi Rp282,15 miliar.
Neni menegaskan bahwa dengan disepakatinya perubahan ini, pemerintah memiliki landasan kuat untuk menyusun Perubahan APBD 2025 yang berpihak pada rakyat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan pelayanan publik.
Angka-angka ini menjadi dasar kebijakan dan prioritas pembangunan yang pelaksanaannya harus diawasi secara ketat. Kenaikan belanja dan belanja modal memang memberi ruang bagi program untuk berjalan. Tetapi ketepatan penggunaan anggaran tetap menjadi faktor penentu.
Pada akhirnya, kecepatan OPD dalam merespons keluhan warga akan menjadi ukuran keberhasilan. Sama pentingnya dengan kecermatan dalam pengelolaan anggaran.
Jika masyarakat lebih memilih melapor langsung ke wali kota atau wakil wali kota, itu menjadi tanda bahwa OPD belum bekerja maksimal.
Malam itu, Neni–Agus Haris tampil kompak. Ini memberi isyarat bahwa sinergi eksekutif–legislatif tengah dijaga dan APBD 2025 harus dieksekusi cepat untuk kepentingan publik. (*)
Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.