SAYA tidak pernah menggunakan ojek online (ojol) maupun taksi online Maxim untuk angkutan orang. Aplikasi ini hanya saya pakai untuk jasa angkutan barang. Tarifnya bisa berkisar Rp50 ribu hingga Rp150 ribu sekali jalan di dalam kota. Bahkan lebih mahal bila antar kota. Sedangkan untuk kebutuhan harian, saya jarang menggunakannya.
Jika pun terpaksa, ketika tidak memakai kendaraan pribadi atau sedang berada di luar kota, maka pilihannya menggunakan Grab atau Gojek. Karena itulah, ketika polemik tarif Maxim di Kaltim mencuat, saya merasa perlu menelaah lebih jauh. Bagaimana sebenarnya aturan tarif di Kaltim, siapa yang mematuhi, dan siapa yang mencoba melanggar.
Perlu ditegaskan, persoalan yang mencuat bukan hanya soal taksi online atau Angkutan Sewa Khusus (ASK) berbasis mobil. Tetapi juga menyentuh layanan ojek online (ojol) roda dua. Regulasi resmi memang ditetapkan untuk tarif ASK. Batas bawah Rp5.000 per kilometer, batas atas Rp7.600, dan tarif minimal Rp18.800 untuk 4 kilometer pertama.
Namun praktiknya, masalah tarif dan promo juga membelit ojol. Terutama Grab dan Maxim, yang kerap memainkan harga melalui fitur “slot,” “akses hemat,” hingga “double order”. Bagi driver, promo ini membuat penghasilan semakin tergerus.
Kekecewaan itu meledak dalam aksi besar pada 11 Agustus 2025 lalu. Jalan Gajah Mada, Samarinda, lumpuh selama sembilan jam akibat demonstrasi ribuan pengemudi ojol dan taksi online dari Samarinda, Balikpapan, dan Tenggarong, yang tergabung dalam Aliansi Mitra Kaltim Bersatu (AMKB).
Mereka menuntut penegakan SK Gubernur soal tarif ASK, sekaligus mendesak dihapuskannya fitur promo yang dianggap merugikan. Dalam audiensi tujuh jam dalam debat panas, perwakilan AMKB menegaskan aplikator tidak boleh seenaknya menentukan tarif, sementara Grab beralasan tarif sudah dinaikkan sejak Mei 2025. Tapi promo tetap dijalankan karena kebijakan pusat. Sedangkan Maxim sepertinya masih setengah hati. Tidak ada komitmen untuk penyesuaiannya.
Dishub Kaltim memberi batas waktu hingga 15 Agustus 2025 bagi para aplikator untuk melakukan penyesuaian. Untuk layanan roda empat, tarif Angkutan Sewa Khusus (ASK) wajib disesuaikan dalam 2×24 jam. Sedangkan untuk roda dua, fitur-fitur promo yang dinilai merugikan pengemudi diberi tenggat 10 hari untuk dihapus.


Pemerintah menegaskan, jika kesepakatan ini diabaikan, maka sanksinya adalah penutupan kantor operasional, khususnya di Samarinda dan Balikpapan. Namun hingga tenggat berakhir, tidak semua aplikator menjalankan komitmen.
Gojek relatif lebih patuh dan konsisten dalam menyesuaikan tarif ASK. Grab sudah menyesuaikan tarif mobil, tetapi masih dinilai bermasalah di sektor ojol karena promo. Sementara Maxim justru paling mencolok ketidakpatuhannya. Tarif yang mereka terapkan tidak pernah konsisten. Pernah melambung hingga Rp12.000 per kilometer, di atas batas atas, lalu turun hingga Rp4.700 per kilometer, di bawah batas bawah.
Akhirnya, karena tidak mematuhi ultimatum, pada Jumat, 15 Agustus 2025 Dishub Kaltim bersama Satpol PP kembali menyegel kantor operasional Maxim di Samarinda. Plt Kadishub Irhamsyah menegaskan langkah ini hanya tindak lanjut dari kesepakatan dengan driver. Kasatpol PP Munawar menyebut pertemuan sebelumnya sebagai “kesepakatan yang tidak sepakat,” karena semua aplikator menolak tanda tangan. “Kami terpaksa menutup kembali untuk yang kedua kalinya,” tegas Kepala Bidang Trantibum Satpol PP, Edwin Noviansyah.
Sikap Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud tak kalah tegas. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” tegasnya. Menurut Rudy, Grab dan Gojek setidaknya sudah berusaha menyesuaikan, hanya Maxim yang tetap membandel.
Lalu, kenapa Maxim sulit menyesuaikan? Jawabannya normatif. Mereka menyebut sistem aplikasi internasional belum sinkron, tarif rendah untuk menarik konsumen, tarif tinggi akibat mekanisme dinamis. Alasan yang tidak masuk akal.
Kalau Grab dan Gojek yang sama-sama perusahaan global bisa tunduk pada aturan lokal, mengapa Maxim tidak? Dugaan kuat, Maxim sengaja menguji batas regulasi, bermain di celah hukum untuk merebut pasar dengan cara merugikan driver dan penumpang.
Polemik tarif transportasi daring di Kaltim bukan soal hitung-hitungan ongkos, tapi soal kepatuhan dan perlindungan. Grab masih menyisakan masalah promo yang menekan driver. Maxim jelas melanggar aturan tarif. Sementara Gojek relatif paling patuh. Jika dibiarkan, konsumen bisa dieksploitasi, driver semakin tertekan, dan aturan daerah tidak lagi dihormati.
Penyegelan kantor Maxim adalah langkah tepat, tapi jelas belum cukup. Pemerintah juga harus menertibkan promo di Grab. Regulasi harus ditegakkan menyeluruh, adil, dan tanpa pandang bulu.
Aturan tarif adalah kewajiban hukum. Kaltim tidak boleh jadi tempat uji coba bisnis yang melanggar aturan. Pemprov Kaltim harus tegas berpihak pada konsumen, driver, dan keadilan sosial di tengah ekonomi digital.(*)
Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.