TERAKHIR kali saya menginjakkan kaki di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 4 Mei 2025. Saat itu, kami dari Media Kaltim menggelar Nusantara Fun Run sebagai bagian dari peringatan HUT ke-5 Media Kaltim. Setelahnya, saya mengikuti perkembangan IKN dari pemberitaan media, termasuk laporan harian oleh Riski Maulana, wartawan biro kami yang bertugas di kawasan KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan).
Kalau hari ini kita melangkah ke KIPP IKN, suasananya seperti kota baru yang tengah digarap besar-besaran. Jalan lebar, gedung menjulang, dan rombongan pejabat datang silih berganti. Tapi coba belok sedikit ke arah Sepaku. Suasananya langsung berubah. Debu proyek, jaringan air bersih yang tak stabil, dan warga yang masih hidup dalam kondisi seadanya.

Aktivitas groundbreaking memang tidak seramai saat Presiden Joko Widodo masih aktif turun langsung memantau proyek ini. Presiden Prabowo pun hingga kini belum terlihat berkunjung ke IKN. Meski begitu, kunjungan para pejabat pusat tetap berlangsung nyaris tanpa jeda.
Wakil Presiden, para menteri, hingga pimpinan lembaga negara bergantian datang. IKN tetap jadi pusat perhatian nasional, dengan berbagai agenda pemerintahan dan kenegaraan yang terus berlangsung hampir setiap pekan.
Namun, di tengah geliat itu, satu pertanyaan yang masih terus mengemuka: benarkah IKN dibangun untuk semua?
Bambang Susantono, mantan Kepala Otorita IKN, sejak awal sudah memberi isyarat. “Berbicara IKN, bukan KIPP saja. Kecamatan Sepaku itu IKN,” tegasnya dalam diskusi santai bersama pegiat media sosial di KIPP, Jumat (1/8/2025) lalu. Pesannya jelas: jangan biarkan pembangunan hanya berputar di pusat, sementara pinggiran tertinggal.
Faktanya, dari Intake Sepaku, air bersih 300 liter per detik lancar mengalir ke gedung-gedung KIPP. Tapi warga Sepaku hanya mendapat pasokan dari IPA Perumda Danum Taka yang berkapasitas 30 liter per detik. Jaringan pipa belum optimal, distribusi sering tersendat, dan pipanisasi dari Bendungan Sepaku yang memiliki kapasitas 2.500 liter per detik masih belum rampung hingga kini.

Sementara itu, pembangunan di pusat terus berjalan. Dalam waktu bersamaan, IKN jadi tuan rumah berbagai agenda nasional: Congress of Indonesian Diaspora (CID) ke-8, Festival Sumpit, Trade Exhibition Eco Fashion, dan Bazaar Nusantara. Aktivitas berlangsung meriah dan disambut antusias.
Tapi semua itu akan terasa timpang jika hanya berjarak lima menit dari pusat acara. Warga Sepaku masih harus bertahan dengan air yang tidak mengalir dan jalan kampung yang rusak. Ini soal kebutuhan dasar yang belum merata.
Bambang kembali mengingatkan agar wajah desa tidak ditutup atau disamarkan. “Jangan sampai menimbulkan dua wajah: wajah modern dan wajah lampau,” katanya. Ia pun mendorong agar konsep Green Village dijalankan secara konsisten, agar desa-desa tetap hidup berdampingan dengan pusat kota yang dibangun.
Semangat pelestarian budaya memang digaungkan oleh Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, saat membuka Festival Sumpit. Deputinya, Alimuddin, bahkan menyebut festival ini sebagai simbol penyatuan identitas Kalimantan dan Nusantara.
Tapi memperkuat identitas tidak cukup dengan festival. Kampung-kampung di sekitar KIPP harus dibenahi secara konkret. Jalan rusak, air bersih terbatas, dan fasilitas publik yang belum merata. Itulah yang seharusnya jadi prioritas, agar IKN tidak berkembang dengan dua standar.
Kalau gedung istana bisa dibangun cepat, maka jaringan air bersih untuk warga juga harus selesai. Kalau event nasional bisa diselenggarakan berhari-hari, maka menyelesaikan layanan dasar tidak boleh tertunda.
Satu IKN, harus satu rasa. Jangan ada dua wajah dalam satu ibu kota. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.