TERAKHIR kali saya berbincang langsung dengan Agus Haris adalah saat beliau masih menjabat sebagai anggota DPRD Bontang. Setelah itu, komunikasi kami memang tidak lagi intens. Tetapi aktivitasnya tetap saya ikuti melalui pemberitaan media, kegiatan lapangan, hingga unggahan digital yang rutin ia bagikan.
Figur Agus Haris tidak berubah banyak—tetap membumi, dekat dengan warga, dan punya cara sendiri menyampaikan sikap tanpa gaduh.
Agus Haris dikenal cukup dekat dengan masyarakat, terutama kalangan pemuda. Kami sama-sama lulusan Ilmu Hukum Universitas Trunajaya Bontang. Ia lulus tahun 2008, sementara saya baru menyelesaikan studi pada 2023. Saya mengambil S1 Hukum pada 2019 sebagai bentuk penyesuaian akademik setelah sebelumnya lebih dulu menyelesaikan S2 Hukum—meskipun latar pendidikan awal saya adalah S1 Kehutanan Universitas Mulawarman.
Ketika isu Sidrap kembali mencuat, saya langsung teringat Agus Haris. Ia tinggal di sana. Sengketa tapal batas antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur (Kutim) memang bukan hal baru, tetapi kembali menjadi sorotan setelah mediasi antara Pemkot Bontang dan Pemkab Kutim di Jakarta pada 31 Juli 2025 gagal mencapai kesepakatan. Isu ini bahkan kini berproses menuju pengujian konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari warung kopi yang dulu menjadi ruang diskusi informal, Agus Haris kini terlibat dalam ikhtiar yang lebih formal dan serius: menjaga kepastian hukum melalui jalur konstitusi. Ia tidak hanya memahami isu ini dari luar, tetapi juga hidup dan aktif di tengah masyarakat yang terdampak langsung oleh sengketa tersebut.
“Sidrap bukan sekadar wilayah sengketa bagi saya. Ini tempat saya tinggal, saya berkeluarga, dan saya mengabdi. Maka sudah seharusnya saya bersuara,” ujarnya dalam satu pertemuan warga.
Ia menegaskan bahwa langkah Pemkot Bontang bukan untuk menggugat Kutim, melainkan untuk menguji kejelasan hukum mengenai batas wilayah. “Kami tidak pernah menggugat Kutim. Yang coba kami uji adalah UU Nomor 47 Tahun 1999. UU itu tidak melahirkan peta. Makanya kami uji, bagaimana penetapan tapal batas itu sebenarnya,” jelasnya kepada wartawan.
Menurut Agus Haris, penentuan tapal batas tidak bisa hanya berpatokan pada isi pasal dalam undang-undang. Fakta di lapangan harus menjadi dasar yang kuat. “Harusnya semua produk hukum berpijak pada tiga hal: kepastian hukum, asas manfaat, dan keadilan,” ucapnya.
Fakta yang ia maksud terlihat jelas di Sidrap. Warga di tujuh RT yang disengketakan selama ini lebih terhubung dengan Kota Bontang. Baik dari sisi pendidikan, layanan kesehatan, hingga administrasi kependudukan. “Setelah keluar Undang-Undang dan Permendagri itu, bukannya pelayanan makin dekat. Padahal semangat otonomi daerah itu kan mendekatkan pelayanan, bukan sebaliknya,” tambahnya.
Mediasi terakhir gagal menghasilkan kesepakatan karena Kutim bersikeras mempertahankan klaimnya. Warga pun merasa resah.
“Kalau kami harus ke Sangatta untuk bikin KTP, siapa yang bayar ongkosnya? Kalau anak kami sakit, rumah sakit mana yang bisa kami jangkau? Semua itu adanya di Bontang, bukan di Kutim,” ujar Amiruddin, warga Sidrap.
Dukungan agar Sidrap tetap masuk wilayah Bontang datang dari Ketua DPRD Bontang Andi Faizal, bahkan dari Wali Kota Neni Moerniaeni.
Sementara sikap warga juga tegas—mereka ingin tetap menjadi bagian dari Bontang, karena kehidupan mereka sudah sejak lama bergantung pada layanan dan kebijakan kota ini.
Di tengah proses ini, Agus Haris justru memilih jalur komunikasi yang sederhana, tetapi menyentuh. Ia tidak membangun citra lewat baliho besar, tetapi hadir di banyak ruang publik. Dan kini juga aktif di media sosial. Salah satunya melalui platform TikTok, tempat ia membagikan aktivitasnya bersama warga, mengangkat isu Sidrap secara lugas namun tetap santun.
Dari video edukatif hingga momen-momen kecil seperti gotong royong, lomba kampung, hingga musyawarah warga, semuanya ia sajikan apa adanya, tanpa berjarak.
Ia memahami bahwa kedekatan dengan masyarakat bukan soal jarak fisik semata, tetapi soal keterlibatan nyata dalam kehidupan mereka.
Maka ketika muncul isu plang keterangan ketua RT di Kampung Sidrap dicopot, Agus Haris menanggapi dengan tenang. “Ini hal yang wajar, tak usah dibesar-besarkan. Tak perlu sampai mencabut plang segala. Kita ini di NKRI, plang itu juga tidak ke mana-mana,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam proses lahirnya Permendagri Nomor 25 Tahun 2005, pernah ada kesepakatan di tingkat provinsi bahwa setelah tapal batas ditetapkan, Bontang diberi ruang untuk mengajukan perluasan wilayah. Ini menjadi pijakan historis yang sah bagi tuntutan masyarakat saat ini.
Agus Haris memang tak banyak bicara di media. Tapi ia hadir nyata di lapangan dan aktif di ruang digital. Gaya komunikasinya yang sederhana namun konsisten menjadi jembatan kuat antara dirinya dan warga.
Sidrap bukan sekadar soal batas wilayah. Ini menyangkut pelayanan publik, akses sehari-hari, dan kenyamanan warga. Agus Haris sejauh ini hadir langsung bersama masyarakat, dari warung kopi di kampung hingga ruang konstitusi di Mahkamah. Dan dari ruang itulah, Sidrap diperjuangkan agar tetap menjadi bagian dari Bontang—tempat warganya hidup, tumbuh, dan dilayani secara adil.
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.