spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dari DPR RI hingga Kepala Daerah di Kaltim: Gaji Fantastis, Korupsi Jalan Terus

DEMO besar di depan Gedung DPR RI beberapa hari lalu bukan sekadar soal tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Aksi itu menimbulkan pertanyaan yang lebih mendasar: seberapa besar negara sebenarnya sudah menggaji para pejabat publik?

Dari DPR, menteri, wakil menteri, direksi BUMN, hingga kepala daerah, angka resmi dalam peraturan menunjukkan jumlah yang fantastis. Ironisnya, meski digaji besar, korupsi tetap marak. Jika gaji besar tak membuat pejabat jujur, berarti masalahnya bukan pada angka, melainkan pada mentalitas, integritas, dan moralitas orang yang duduk di kursi kekuasaan.

Ambil contoh DPR RI. Polemik tunjangan rumah Rp50 juta per bulan memicu protes 25 Agustus. Baru setelah ricuh, pimpinan DPR menjelaskan tunjangan itu hanya berlaku setahun, Oktober 2024–Oktober 2025, sebagai angsuran kontrak rumah lima tahun. Penjelasan yang datang terlambat itu tak mampu meredam kemarahan publik.

Untuk menteri, regulasi jelas: gaji pokok Rp5.040.000 per bulan (PP No. 60/2000) dan tunjangan jabatan Rp13.608.000 (Keppres No. 68/2001). Total Rp18.648.000 per bulan, belum termasuk rumah dinas, kendaraan, layanan kesehatan, dan dana operasional (PMK No. 268/PMK.05/2014).

Baca Juga:   Terima Kasih: Dukungan Itu Hadir dalam Ucapan, Doa, dan Karangan Bunga

Wakil menteri bahkan mendapat tunjangan sekitar Rp11,5 juta per bulan (85% dari menteri) dan hak keuangan 135% dari tunjangan kinerja eselon IA, meski tanpa gaji pokok (PMK No. 176/2015).

Di BUMN, penghasilan direksi dan komisaris bisa ratusan juta hingga miliaran rupiah per bulan, diatur melalui Permen BUMN terbaru (PER-12/MBU/11/2020 dan PER-3/MBU/03/2023).

Hal serupa terjadi di daerah. Gubernur, bupati, dan wali kota, termasuk di Kaltim, memiliki gaji pokok relatif kecil (Rp3 juta untuk gubernur, Rp2,1 juta untuk bupati/wali kota). Namun tunjangan dan biaya operasional daerah (BOP) yang melekat bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran, bergantung APBD. Tak heran, banyak kasus korupsi kepala daerah di Kaltim maupun daerah lain justru bersumber dari dana operasional dan kewenangan anggaran.

Singkatnya, negara sudah membayar mahal. Gaji pokok, tunjangan, fasilitas, hingga dana operasional.

Teori lama bahwa menaikkan gaji akan menekan korupsi sudah lama diuji, namun faktanya KPK tetap menangkap pejabat yang “bermain” di balik meja.

Inilah yang membuat demo meledak. Publik melihat ketimpangan yang telanjang. Di satu sisi rakyat menghadapi PHK, harga pangan melambung, pajak mencekik. Di sisi lain pejabat hidup dengan tunjangan besar dan fasilitas serba ada. Wajar jika muncul seruan “bubarkan DPR”—itu bukan anti-lembaga, melainkan tanda ketidakpercayaan.

Baca Juga:   Cerita 5 Tahun Media Kaltim: Lahir di Tengah Pandemi Covid-19, Tumbuh di Tengah Tantangan

Kenyataannya, gaji besar tak menjamin pejabat bebas dari godaan. Selama mentalitas mencari keuntungan pribadi dan rasa kebal hukum dipelihara, penyalahgunaan akan terus ada. Jalan keluarnya bukan menambah gaji, tapi keterbukaan, pengawasan ketat, dan hukuman tanpa pandang bulu. Harapan besar ada pada seluruh penegak hukum, KPK, Polri, hingga Kejaksaan untuk membuktikan hukum benar-benar bekerja.

Demo 25 Agustus adalah alarm keras. Negara tak cukup hanya memberi klarifikasi, tapi perlu langkah nyata: memangkas fasilitas tak relevan, membuka data penghasilan pejabat, menertibkan belanja operasional, dan memastikan setiap pelanggaran berakhir dengan hukuman tegas.

Korupsi di negeri ini bukan soal kurang gaji, melainkan soal kerakusan. Dan rakyat, sebagai pihak yang membayar, berhak menuntut akuntabilitas dari pejabat yang sejatinya hanyalah pelayan, bukan majikan. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

BERITA POPULER