Dalam sepekan terakhir, jagat pemberitaan nasional dan linimasa Instagram–TikTok diramaikan isu Bupati Pati, Sudewo. Ia ngotot menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sampai 250 persen dengan alasan penyesuaian NJOP yang sudah 14 tahun tak pernah dilakukan. Rapat bersama kepala desa sudah digelar sejak Mei, dan Sudewo merasa langkah ini sah secara aturan.
Masalahnya, rakyat tidak setuju. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu membentuk posko protes di depan kantor bupati. Donasi mengalir. Rencana aksi besar disiapkan tanggal 13 Agustus mendatang. Situasi memanas saat Satpol PP menyita ribuan botol air mineral sumbangan warga untuk aksi.
Video penyitaan itu memantik kemarahan public. Apalagi sebelumnya diiringi pernyataan Sudewo yang viral. “Jangankan lima ribu, lima puluh ribu pun saya tak gentar.” Ucapan itu dianggap menantang rakyatnya sendiri.
Tekanan publik memaksa Sudewo mengubah sikap. Pada 8 Agustus 2025, ia membatalkan kenaikan PBB-P2. Mengembalikan tarif seperti tahun 2024 dan berjanji mengembalikan kelebihan pembayaran.
Di Pendopo Kabupaten Pati, Sudewo juga menyampaikan permintaan maaf terbuka. Ia mengaku tak bermaksud menantang rakyat atau merampas donasi dan berjanji lebih banyak menerima masukan. “Di awal pemerintahan ini saya masih banyak kekurangan, masih harus berguru,” katanya.
Cerita ini berbeda dengan di Kaltim, yang kini dipimpin Gubernur Rudy Mas’ud bersama Wakil Gubernur Seno Aji, menggantikan duet Isran Noor–Hadi Mulyadi pada awal 2025. Di awal masa jabatannya, Rudy langsung meluncurkan program “THR Spesial” pemutihan pajak kendaraan, dengan menghapus tunggakan dan denda PKB serta memberi diskon 50 persen untuk kendaraan luar daerah yang mutasi masuk. Program yang berlangsung 8 April hingga 30 Juni 2025 ini langsung mendapat sambutan antusias.
Kantor Samsat di berbagai daerah dipadati warga. Antrean mengular dan banyak yang mengaku lega terbebas dari beban denda. “Alhamdulillah, terima kasih Gubernur Kaltim atas pemutihan pajak ini,” ujar Sumardi, warga Samarinda.
Rudy menegaskan, kalau bisa meringankan beban warga, kenapa tidak?. “Program ini tidak mengurangi pendapatan daerah, justru menambah penerimaan karena warga mau bayar,” ujarnya. Wakil Gubernur Seno Aji menambahkan, “Kuncinya ada di pelayanan. Kalau masyarakat dipermudah, mereka akan patuh membayar kewajiban.”
Meski begitu, tidak semua kebijakan Rudy–Seno tanpa kritik. Program unggulan Gratispoll, membebaskan biaya sekolah, listrik rumah ibadah, dan layanan kesehatan tertentu, memang pro publik. Tapi pengawasan dan ketepatan sasarannya kerap dipertanyakan. “Program ini harus tepat sasaran, jangan sampai yang mampu ikut menikmati,” kata Rudy. Seno menegaskan, “Kami akan awasi ketat, supaya benar-benar dinikmati yang berhak.”
Di kebiajakan lainnya, wacana izin tambang untuk Perusda memancing keraguan. Purwadi Purwoharsojo, pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, mengkritik bahwa keberatan terhadap izin tambang untuk ormas sebenarnya sudah terlambat, karena izin sudah diteken pusat. Ia meragukan kemampuan Perusda mengelola tambang mengingat catatan buruk seperti dugaan korupsi dan manajemen yang tidak profesional. Menurutnya, Perusda butuh reformasi internal dan seleksi direksi yang transparan.
Kebijakan lain, yang membolehkan truk batu bara melintas di jalan umum “asal aman” juga dikritik karena bertentangan dengan Perda Kaltim No. 12 Tahun 2012 dan UU Minerba yang mewajibkan jalan khusus hauling.
Dari Pati, pelajarannya jelas. Kebijakan yang tidak peka terhadap kondisi publik akan berujung penolakan, seberapa pun kuat dasar hukumnya. Dari Kaltim, contoh kebijakan pro rakyat seperti pemutihan pajak bisa membangun dukungan publik, asalkan konsisten dan tidak diimbangi kebijakan lain yang membebani warga.
Pejabat Kaltim harus menjaga konsistensi ini. Jangan hanya berani menghapus pajak di satu waktu, lalu di lain hari membuat aturan yang menyulitkan rakyat. Publik menilai dari manfaat langsung di lapangan, bukan dari alasan teknis atau seremonial. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.