Minggu (30/11) sore, sekretaris redaksi mengirimkan sebuah pesan kepada saya. Ia menyampaikan informasi tentang seorang guru dari pedalaman Long Apari yang baru saja menorehkan prestasi penting di tingkat internasional. Informasi itu cukup membuat saya berhenti sejenak. Bukan setiap hari kita mendengar kabar tentang seorang guru dari daerah paling hulu Mahakam yang mengharumkan nama Kalimantan Timur sampai ke Jepang.
Nama guru itu Rukdianti Aslinda Asnur. Ia mengajar mata pelajaran ekonomi di SMAN 1 Long Apari, Mahakam Ulu (Mahulu), sebuah sekolah yang berada di ujung hulu Sungai Mahakam. Wilayah yang hanya bisa ditempuh oleh mereka yang bertekad kuat dan siap menghadapi medan berat.

Di wilayah seperti ini, harga kebutuhan pokok bisa melambung berkali-kali lipat. Jaringan sering tidak stabil, dan fasilitas serba terbatas. Namun di tempat sesulit ini pula banyak guru memilih bertahan demi menjaga nyala pendidikan.
Aslinda adalah salah satunya. Bahkan lebih dari itu. Ia membawa nama Long Apari hingga ke tingkat internasional. Ia baru saja ditetapkan sebagai delegasi Indonesia dalam Program Pertukaran Guru ASEAN ke Jepang. Kegiatan yang digelar Kemendikdasmen bekerja sama dengan Japan Foundation.
Undangan seleksinya datang langsung melalui WhatsApp dari kementerian. Sebuah kesempatan yang muncul bukan secara kebetulan, tetapi buah dari rekam jejaknya.

Pada 2024, ia meraih Juara 1 Guru SMA Dedikatif Kaltim pada ajang Jambore GTK, seleksi yang digelar Balai GTK. Dari situlah namanya masuk radar nasional.
Proses seleksinya berlapis: administrasi, esai dalam bahasa Inggris, hingga wawancara yang sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Pesertanya berasal dari berbagai daerah. Termasuk dari sekolah-sekolah 3T yang selama ini bekerja dalam senyap.
Pada akhirnya, Aslinda terpilih sebagai salah satu delegasi yang berangkat ke Tokyo dan Yamagata. Di sana, ia mengikuti kegiatan pembelajaran di SD Haramachi Tokyo, berdiskusi dengan guru-guru SMA Kojokan Yonezawa, mendalami STEAM di Universitas Yamagata, dan merasakan langsung pengalaman budaya Jepang.

Ia melihat teknologi piezoelectric di Stasiun Shibuya, tinggal di hotel modern hingga penginapan tradisional, serta menyaksikan momiji. Hal yang sebelumnya hanya ia kenal dari anime masa kecilnya.
Yang paling menyentuh adalah bagaimana ia memandang keberhasilannya. Ia tidak menampilkannya sebagai pencapaian pribadi. Ia menyebut kepala sekolahnya, Achmad Marzuqi, yang selalu mendukung para guru untuk berkembang. Ia menyebut rekan-rekan sejawatnya: Roby, Suranto, Oliva, Pius, Along, Erka, serta para guru SD dan SMP di Long Apari yang selama ini menjadi partner terbaik di lapangan.

Ia bahkan menyebut satu per satu murid dan alumninya: anggota OSIS, atlet voli, hingga anak-anak Long Apari yang kini menjadi tentara, polisi, mahasiswa kedokteran, atau pengusaha muda. Salah satunya, Mery, mahasiswa kedokteran yang diam-diam menjadi sumber motivasinya untuk membuktikan bahwa anak Long Apari juga bisa melangkah jauh.
Pesannya kepada murid-muridnya: jadilah orang sukses yang baik, dan orang baik yang sukses. Ia berharap suatu hari nanti generasi muda Long Apari kembali ke kampung halaman untuk membangun daerah yang membesarkan mereka.

Kepada para guru di daerah lain, ia berpesan agar tidak ragu mengikuti lomba dan program nasional karena peluang internasional sering lahir dari sana.
Kisah seperti ini memang kerap tidak terdengar. Bukan karena tidak penting, melainkan karena kita di kota terlalu terbiasa mendengar cerita besar dari tempat yang dekat. Padahal dari hulu Mahakam, ada guru yang menembus riam demi riam, hidup dalam keterbatasan, tetapi mampu melampaui batas geografis dan administratif yang selama ini membelenggu daerah terpencil.

Di sinilah peran Pemprov Kaltim dan Pemkab Mahulu seharusnya hadir lebih nyata. Long Apari butuh dukungan yang konkret. Akses yang layak, fasilitas pendidikan yang memadai, dan perhatian yang tidak hanya berhenti pada kunjungan seremonial. Jika seorang guru dari pedalaman bisa menembus Jepang, maka pemerintah semestinya mampu menembus batas birokrasi untuk memastikan perjuangan seperti ini tidak berlangsung sendirian. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.





