SAYA hadir sebagai undangan dalam kegiatan Launching Persia (Perpustakaan Ramah Disabilitas dan Lansia), Rabu (10/9) pagi ini. Acara yang diluncurkan Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris, berlangsung meriah dalam bingkai Festival Literasi.
Tidak hanya seremoni pemotongan pita atau kunjungan ke ruang layanan, tetapi juga dirangkai agenda penting lainnya. Seperti pelatihan huruf Braille, kunjungan ke ruang Persia, dan peluncuran SI Mokel Lincah, motor keliling literasi yang siap menjangkau warga hingga ke pelosok kota.
Seluruh lomba yang digelar sebelumnya dalam rangkaian Festival Literasi sudah dilaksanakan. Mulai dari lomba menulis cerpen tingkat SMP/MTs, lomba Got Talent Disabilitas, Got Talent Lansia, hingga lomba literasi lainnya. Pada acara launching kali ini, dilakukan pembagian hadiah bagi para juara.


Satu per satu pemenang dipanggil ke atas panggung menerima penghargaan, disaksikan undangan yang hadir. Suasana menjadi lebih hidup karena ada apresiasi langsung dari pemerintah kepada mereka yang telah menyalurkan bakat dan minat di bidang literasi.
Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bontang pagi tadi dipenuhi undangan. Hadir unsur Forkopimda, perwakilan Perpusnas RI, Sentra Wyata Guna Bandung, DPRD Bontang, jajaran OPD, pimpinan perusahaan, camat, lurah, komunitas literasi, organisasi disabilitas, komunitas lansia, hingga perwakilan sekolah. Kehadiran mereka menjadi bukti dukungan lintas sektor bahwa literasi memang harus diperjuangkan bersama.
Dalam sambutannya, Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris, menegaskan bahwa Persia bukan sekadar bangunan dengan rak buku, melainkan simbol kepedulian, simbol masa depan, dan simbol keberpihakan. “Perpustakaan harus hadir untuk semua, termasuk penyandang disabilitas dan para lansia,” tegasnya.

Bahkan jika warga tidak bisa datang ke perpustakaan, maka lewat SI Mokel Lincah, perpustakaanlah yang akan hadir ke tengah masyarakat. Artinya, perpustakaan tidak boleh pasif, menunggu didatangi, melainkan aktif hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sepakat pernyataan ini. Namun, lebih jauh, saya memandang Persia adalah janji. Janji agar perpustakaan tidak lagi eksklusif, melainkan rumah bersama yang menghadirkan akses setara bagi semua kalangan. Tapi simbol dan janji itu hanya akan bernilai bila ditindaklanjuti dengan kesungguhan.
Harapan publik jangan sampai Persia berhenti pada papan nama dan fasilitas baru. Pasca launching, pekerjaan besar menanti. Fasilitas seperti ramp, guiding block, koleksi braille, ruang ramah lansia, dan ruang baca inklusif harus benar-benar digunakan, bukan sekadar pajangan.
Sosialisasi harus dilakukan secara berkelanjutan ke sekolah, komunitas disabilitas, organisasi pensiunan, hingga lingkungan RT/RW agar masyarakat tahu dan mau memanfaatkannya.

Tantangan literasi hari ini nyata. Anak-anak lebih akrab dengan gawai daripada buku. Kegiatan membaca dan menulis makin jarang, tergantikan budaya instan dari layar. Karena itu perpustakaan tidak boleh hanya menunggu, tapi harus aktif menjemput pembaca. Program literasi digital, pelatihan menulis, hingga motor keliling literasi mesti terus digerakkan agar menjadi kebiasaan baru masyarakat Bontang.
Keberhasilan Persia bukan diukur dari banyaknya koleksi atau megahnya ruangan, melainkan dari seberapa diterimanya kelompok rentan, semangat membaca yang kembali tumbuh di kalangan pelajar, dan hidupnya kembali tradisi menulis.
Bontang sudah membuka pintu dunia lewat jalur inklusif. Kini yang penting memastikan pintu itu tetap terbuka dan benar-benar dimanfaatkan. Persia harus hidup sebagai gerakan literasi berkelanjutan, bukan sekadar seremoni sesaat.
Jika konsisten dijalankan, Bontang bisa menjadi contoh. Kota industri yang juga kuat dalam budaya baca, peduli kelompok rentan, dan serius membangun manusia. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.