DALAM satu hari kemarin (30/8), termasuk Minggu (31/8) dini hari tadi, kita menyaksikan betapa cepatnya aksi protes bergeser menjadi amukan massa yang tak terkendali.
Semula, massa turun ke jalan dengan tuntutan menolak kenaikan gaji, tunjangan, dan fasilitas DPR, disertai sederet persoalan lain yang membebani publik. Namun dalam perkembangannya, arah protes itu hilang, berganti menjadi kerusuhan, perusakan, bahkan penjarahan.
Di era digital, provokasi menyebar jauh lebih cepat daripada klarifikasi. TikTok, Instagram, Facebook, hingga X (platform yang dulu dikenal sebagai Twitter) dipenuhi potongan video dan narasi yang memanaskan suasana. Permohonan maaf dari publik figur yang semula dianggap sebagai pemicu pun tak lagi mampu meredam gejolak. Kolom komentar justru penuh dengan amarah personal yang kemudian menjelma menjadi tindakan nyata di jalanan.

Sabtu sore, 30 Agustus 2025, kediaman Anggota DPR RI Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, Jakarta Utara, menjadi sasaran pertama. Amarah massa dipicu oleh pernyataannya yang viral di media sosial: “Mental manusia yang begitu adalah mental manusia tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR, itu adalah orang tolol sedunia.” Ucapan ini dianggap arogan dan merendahkan, sehingga memantik kemarahan publik.
Unjuk rasa spontan warga pun berubah menjadi anarkis setelah kelompok remaja dari Bahari, Cilincing, dan Kemayoran bergabung. Sekitar pukul 16.00–17.00 WIB, pagar dan jendela dijebol. Massa masuk, menjarah perabot rumah, dokumen pribadi, bahkan patung Iron Man berukuran asli. Mobil mewah Lexus dan Porsche ikut dirusak. Brankas dibobol, uang tunai dalam rupiah dan dolar direbut ramai-ramai. Menjelang malam, massa akhirnya bubar setelah warga turun tangan, tetapi kerusakan yang ditinggalkan sudah terlanjur besar.

Malam harinya, rumah Anggota DPR RI Eko Patrio di Kuningan, Jakarta Selatan, mengalami hal serupa. Eko menjadi target karena video jogetnya di Sidang Tahunan MPR dianggap tidak pantas dan viral di media sosial, dipelintir seolah merayakan kenaikan tunjangan DPR. Massa yang terprovokasi menerobos masuk, mengangkut kulkas, dispenser, televisi, sepatu, kasur, hingga kucing peliharaan. Pecahan kaca berserakan, kursi dan koper ikut diangkut.
Beberapa warga bahkan bersorak sinis, menyebut penjarahan ini sebagai kesempatan memiliki barang milik orang kaya. Padahal Eko sudah meminta maaf, namun amarah yang terlanjur membuncah tak bisa dibendung.

Di Pondok Bambu, Duren Sawit, rumah Anggota DPR RI Uya Kuya juga digeruduk. Uya yang sebelumnya tampil di DPR dan ikut berjoget dalam sebuah acara, kemudian diviralkan dengan narasi yang menyesatkan. Video itu dipelintir sebagai selebrasi kenaikan tunjangan DPR, sehingga amarah publik tertuju padanya. Massa menjebol pagar, menjarah kursi, dispenser, sepeda, hingga kucing peliharaan. Ada indikasi pembakaran di beberapa ruangan. Uya hanya bisa pasrah, menyatakan ikhlas meski keluarganya dalam kondisi aman.
Dini hari, Minggu 31 Agustus 2025, giliran rumah milik Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro, Tangerang Selatan. Sri Mulyani diposisikan sebagai simbol kebijakan fiskal yang dianggap mencekik rakyat. Isu pajak, tunjangan, dan fasilitas DPR menjadi bahan bakar sentimen negatif yang menyulut penjarahan. Ratusan orang menyerbu sekitar pukul 01.40 WIB. Televisi, perhiasan, peralatan memasak, hingga ring basket diangkut keluar rumah.

Rangkaian ini menunjukkan wajah baru dari protes yang kehilangan arah. Barang-barang yang dijarah bukan lagi simbol perlawanan, melainkan kebutuhan rumah tangga: kulkas, kasur, hingga kucing peliharaan. Di beberapa daerah, amarah bahkan berubah menjadi kobaran api dengan pembakaran gedung DPRD dan perusakan fasilitas umum. Pada akhirnya, kerugian ditanggung rakyat, karena perbaikan gedung dan infrastruktur tetap menggunakan uang negara.
Situasi ini telah mendapat perhatian Presiden Prabowo Subianto. Presiden memanggil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto untuk mengevaluasi keamanan nasional. Presiden menegaskan bahwa aksi pembakaran fasilitas umum dan penyerangan markas militer maupun polisi telah melampaui batas kebebasan berpendapat dan masuk ranah pidana.
Kapolri menyatakan TNI-Polri akan bertindak tegas namun tetap terukur sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 dan hukum yang berlaku. Panglima TNI menambahkan ajakan agar masyarakat tak mudah terprovokasi, serta mengutamakan penyelesaian masalah lewat musyawarah dan jalur hukum.
Dukungan juga datang dari masyarakat sipil. Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) mendukung penuh langkah Kapolri untuk menindak pelaku anarkis demi stabilitas keamanan dan ekonomi publik. Tokoh agama seperti KH Muhammad Soni Suharsono menyerukan agar masyarakat bersabar, tidak terprovokasi, dan mempercayakan penegakan hukum kepada aparat.
Peristiwa ini menunjukkan betapa tipis batas antara protes dan anarki. Ketika tuntutan berubah jadi penjarahan, perjuangan kehilangan arah. Saat ini yang terpenting adalah bertindak cepat, mengembalikan rasa aman, dan menolak terjebak provokasi. Jika tidak segera dikendalikan, yang hancur bukan hanya rumah Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, atau Sri Mulyani, melainkan rumah besar kita bersama: Indonesia. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.