Innalillahi wa innailaihi rajiun. Demo besar di Jakarta pada Kamis (28/8/2025) menyisakan duka mendalam. Affan Kurniawan (21), pengemudi ojek online, meninggal dunia setelah terlindas kendaraan taktis Brimob jenis Baracuda di kawasan Bendungan Hilir. Peristiwa ini menambah catatan kelam dalam sejarah penanganan aksi unjuk rasa dan meninggalkan luka yang sulit dilupakan.
Kemarin, wartawan Mediakaltim Biro Jakarta, Moh Adi Fajri Syamsu, melaporkan langsung dari lapangan sejak sore. Ia mencatat eskalasi di Senayan, Pejompongan, hingga Benhil. Video yang ia dapat memperlihatkan detik-detik Affan dilindas kendaraan taktis. Dalam rekaman, terdengar histeris warga berteriak “Ya Allah, diinjak…!”, lalu Baracuda kembali melaju meninggalkan lokasi. Video itu kemudian menyebar luas di media sosial, memicu gelombang kemarahan publik.
Situasi memang sudah panas sejak sore. Massa buruh, mahasiswa, dan pelajar mencoba menerobos barikade DPR. Aparat merespons dengan water cannon, kawat berduri, dan barisan berlapis. Transportasi publik ikut lumpuh. KRL Serpong–Rangkasbitung dihentikan karena jalurnya bersinggungan dengan titik kericuhan. Ada pula korban luka akibat kawat berduri, dan sejumlah pelajar diamankan karena membawa anak panah serta botol berisi cairan berbahaya.
Menjelang malam, tragedi itu pecah. Affan yang hanya melintas, bukan bagian dari massa, justru menjadi korban. Rakyat kecil yang sedang mencari nafkah itu harus kehilangan nyawanya di tengah pusaran konflik antara negara dan warganya sendiri.
Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim segera mengumumkan tujuh anggota Brimob diamankan. Mereka berada dalam kendaraan yang menabrak dan melindas korban. Nama-nama sudah dirilis ke publik: Kompol C, Aipda M, Bripka R, Briptu B/D, Bripda M, Baraka Y, dan Baraka J. Abdul menegaskan pemeriksaan dilakukan gabungan oleh Propam Mabes dan Propam Brimob dengan pengawasan Kompolnas.

Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menyampaikan permohonan maaf: “Kami sangat berduka kehilangan saudara kita akibat kejadian sore tadi. Atas nama Polda Metro Jaya, saya menyampaikan permohonan maaf mendalam.” Tidak berhenti di situ, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turun langsung ke RSCM dini hari. Ia memeluk keluarga korban, menyampaikan duka cita, sekaligus berjanji mengurus pemakaman hingga kebutuhan keluarga.
Namun permintaan maaf saja tidak cukup. Peristiwa ini menunjukkan rapuhnya pengendalian pasukan dan lemahnya SOP pengamanan massa. Aparat di lapangan berjalan di garis tipis antara kemanusiaan dan kekerasan. Tekanan mental yang berat sering menutup ruang empati. Polri perlu memperkuat kesiapan psikologis, keterampilan komunikasi, dan disiplin komando agar tragedi seperti ini tidak terulang.
Akar masalahnya juga jelas. Demo 28 Agustus adalah suara rakyat yang menolak outsourcing, upah murah, kenaikan fasilitas DPR, serta beban pajak daerah yang makin mencekik. Mirisnya, aksi-aksi semacam ini hampir selalu dikaitkan dengan tudingan “ditunggangi”, bahkan disebut ada campur tangan asing. Entah benar atau tidak, narasi seperti itu kerap mengaburkan inti masalah: rakyat menjerit, sementara solusi tak kunjung hadir.
Demokrasi yang mestinya menjadi ruang dialog justru berulang kali berakhir dengan bentrokan. Rakyat datang dengan tuntutan, aparat hadir dengan kendaraan taktis, sementara DPR bersembunyi di balik pagar kawat berduri.
Situasi ini menggambarkan jauhnya jarak antara rakyat, wakil rakyat, dan aparat yang seharusnya melindungi.
Tragedi Affan harus menjadi alarm keras. Polisi wajib berbenah memperbaiki komando dan SOP. DPR jangan tuli, pemerintah jangan abai. Aspirasi buruh, mahasiswa, dan rakyat tak boleh lagi dibayar dengan darah rakyat kecil di jalanan.
Affan Kurniawan adalah bukti bahwa demokrasi tanpa nurani hanya akan terus melahirkan korban. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.