SAYA sudah menetap di Bontang sejak 2010. Masih segar dalam ingatan, ketika pertama kali ditugasi membidani terbitnya koran lokal di kota ini, saya memilih Car Free Day (CFD) di Simpang Ramayana sebagai ruang publikasi. Setiap Minggu pagi kami hadir konsisten.
Ruas jalan yang ditutup tidak panjang. Tak sampai 1 kilometer. Hanya dari Simpang Ramayana hingga Simpang Jalan Awang Long. Kegiatannya: senam bersama warga, sesekali doorprize, bahkan kadang diselingi acara berskala besar.
Tim saya bekerja keras tiap Minggu. Bangun pagi menyiapkan sound system, tim publikasi, dan berbagai teknis agar masyarakat terbiasa berolahraga sekaligus ikut meramaikan. Misinya bukan hanya kesehatan, tapi juga memperkenalkan media yang saya dirikan.
Peluncuran perdana bahkan dihadiri langsung Wali Kota kala itu, Sofyan Hasdam, bersama istrinya, Neni Moerniaeni, yang kemudian juga dipercaya memimpin Kota Bontang setelahnya. Kini, Sofyan Hasdam berkiprah sebagai Anggota DPD RI asal Kaltim
Kegiatan CFD ini bahkan lebih dulu hadir sebelum Sunday Market yang digagas PT Pupuk Kaltim (PKT). Saya sempat mencoba mengembangkannya agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bisa ikut terlibat, tapi sulit terealisasi karena berbagai kendala dan minim dukungan. Akhirnya berhenti sebelum pandemi Covid 19, dan belakangan dilanjutkan Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Dispopar) Bontang.

Dari pengalaman itu, ketika Pemkot mewacanakan Car Free Night (CFN), saya bisa memahami semangat yang ingin dibangun. Menghadirkan ruang publik di malam hari sekaligus ruang tumbuh bagi UMKM. Antusiasme pelaku usaha memang luar biasa. Hingga 13 Agustus 2025, tercatat 366 UMKM mendaftar secara online, meski stan yang disiapkan hanya 246.
Seleksi dilakukan ketat, dari izin usaha, higienitas, kemasan, hingga keunikan produk. Peserta terpilih dijadwalkan ikut technical meeting sebelum acara. Rencana awalnya, CFN digelar tiap Sabtu malam pukul 19.00–23.00 Wita dan akan dimulai 23 Agustus mendatang, membentang dari Monamas hingga dealer Honda Ahmad Yani, lengkap dengan hiburan malam.
Namun rencana yang tampak matang itu akhirnya batal. Plt Kepala DKUMPP, Asdar Ibrahim, menegaskan penyebabnya belum ada rekomendasi rekayasa lalu lintas dari Polres. “Kami belum ada menerima rekomendasi rekayasa lalu lintasnya dari pihak Polres Bontang, maka untuk CFN yang berada di Ahmad Yani kami tidak bisa melaksanakannya,” ujarnya. Ia menambahkan, Pemkot masih menampung masukan warga untuk menentukan lokasi baru dengan kajian lebih matang.
Dari sisi politik, dukungan muncul. Ketua DPRD Bontang, Andi Faizal Sofyan Hasdam, menyarankan agar CFN dipindahkan ke Jalan Awang Long. “Kalau menurut saya, CFN ini dipindahkan saja ke sepanjang Jalan Awang Long. Karena untuk kondisi jalannya juga terbilang luas,” katanya. Menurutnya, jalur itu lebih aman dan memberi peluang lebih banyak UMKM ikut serta.
Pada akhirnya, harus diakui bahwa kebijakan publik tidak bisa hanya berhenti pada gagasan dan promosi. Diperlukan kajian teknis yang matang, komunikasi yang terarah, serta keputusan berani untuk memilih lokasi yang benar-benar realistis.
Menutup jalan protokol di malam hari jelas bukan pilihan tepat, sementara Bontang masih memiliki banyak alternatif. Mulai UMKM Center Parikesit, Stadion Bessai Berinta, hingga halaman GOR PKT yang sudah terbukti mampu menarik minat warga melalui konsistensi Sunday Market.
Kota lain sudah memberi contoh. Medan, Banjar, Pangkalan Bun, hingga Lombok Barat berhasil menggelar CFN karena dikemas lengkap. Ruang publik, agenda budaya, rekayasa transportasi, dan konsistensi. Bontang pun sebenarnya sudah punya contoh nyata lewat Sunday Market.
Berawal dari dorongan perusahaan, tapi karena konsistensi dan fasilitas yang disiapkan, kini masyarakat datang tanpa digiring, dan UMKM berebut ikut.
Saya yakin CFN tetap bisa berjalan di Bontang dengan format khas. Asal lokasi tepat, ada dukungan nyata pemerintah, dan konsistensi. Masyarakat akan datang, UMKM berkembang, dan CFN bisa menjadi ikon baru kota ini. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.