spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sidrap Menuju Garis Final (2/2): MK Punya Tenggat, Warga Butuh Jawaban

Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi memang digelar 30 April 2025. Namun amar Putusan Sela No. 10-PS/PUU-XXII/2024 menegaskan: batas waktu mediasi dihitung sejak putusan diucapkan, bukan sejak RPH. Putusan itu baru dibacakan 14 Mei 2025. Dengan ketentuan tersebut, mediasi paling lama berakhir pada 14 Agustus 2025. Setelah itu, Gubernur Kaltim dan Kemendagri masih diberi waktu tujuh hari kerja untuk menyampaikan laporan ke MK, sehingga tenggat pelaporan jatuh pada 25 Agustus 2025.

Maka kemungkinan berkas memang belum sepenuhnya sampai ke MK pada pertengahan Agustus, karena gubernur dan Kemendagri masih berada dalam rentang waktu administratif. Namun setelah 25 Agustus, Mahkamah berhak menilai apa pun yang masuk, bahkan tanpa menunggu forum baru.

Putusan sela justru dimaksudkan untuk mempercepat kepastian, bukan memberi alasan memperpanjang jeda. Pasal 69 PMK 2/2021 secara tegas membuka jalan bagi MK untuk mengeluarkan putusan sela meski tidak dimohonkan, demi keadilan, efisiensi, dan perlindungan hak warga.

Dari konstruksi putusan ini, arah putusan akhir dapat ditarik dari dua pokok utama. Pertama, Penjelasan Pasal 2 UU 47/1999 yang menyebut rinci wilayah Bontang (“Bontang Utara dan Bontang Selatan”), padahal batang tubuh pasalnya hanya bicara pembentukan daerah. Pemohon menilai rincian itu adalah norma baru yang ditempatkan di penjelasan—praktik yang pernah dibatalkan MK karena penjelasan tidak boleh melahirkan norma tersendiri. Jika logika ini diterima, MK bisa menafsirkan penjelasan itu non-normatif, atau bahkan mencabut kekuatan mengikatnya.

Baca Juga:   Angela–Suhuk Sah! Palu MK Akhiri Drama PSU Mahulu

Kedua, Lampiran 5 berupa peta batas wilayah. Fakta di lapangan, Sidrap RT 19–25 sehari-hari dilayani Bontang, tetapi secara administratif masih tercatat di Kutim. Ketidakpastian ini nyata, bahkan berdampak pada hak pilih: pada Pemilu 2024 warga Sidrap mencoblos di Bontang, sementara peta lampiran menunjukkan lain. Situasi seperti ini jelas menyalahi prinsip keadilan sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, putusan sela menekankan dua hal: layanan publik harus tetap berjalan, sementara garis batas wajib diselesaikan.

Legal standing Pemda sebagai pemohon juga tidak lagi diperdebatkan. Pemerintah daerah adalah badan hukum publik yang dapat dirugikan secara konstitusional, dan kepala daerah sah mewakili di dalam maupun di luar pengadilan. Dengan dasar itu, substansi perkara jadi fokus utama: penjelasan yang dipersoalkan karena melahirkan norma baru, serta peta lampiran yang menimbulkan ketidakpastian.

Arah putusan MK bisa berada pada tiga spektrum klasik: menolak seluruhnya, mengabulkan sebagian dengan syarat, atau memerintahkan koreksi administratif. Namun apa pun bentuknya, semangat putusan sela sama: pelayanan publik tidak boleh berhenti. Warga perlu jawaban pasti, bukan tarik-ulur tanpa ujung.

Baca Juga:   Pahitnya Menang Lelang Negara (1): Rumah Tak Bisa Dikuasai, Malah Digugat

Sayangnya, mediasi yang difasilitasi Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud gagal mempertemukan Bontang dan Kutim. Padahal yang diperdebatkan hanya batas antar-kabupaten/kota dalam satu provinsi, bukan sengketa antarnegara. Seandainya para kepala daerah mampu menempatkan kepentingan warga di atas ego wilayah, masalah ini mestinya tak perlu sampai ke Mahkamah Konstitusi. Apalagi sudah ada putusan sela yang memberi ruang penyelesaian administratif. Gubernur seharusnya bisa lebih meyakinkan kedua belah pihak demi masyarakat yang sudah puluhan tahun menunggu kepastian.

Kini mediasi sudah lewat, laporan maksimal 25 Agustus 2025. Setelah itu, bola sepenuhnya ada di Mahkamah. Warga Sidrap berhak atas kepastian, bukan janji kosong.

Sidrap sudah terlalu lama dibiarkan menggantung tanpa kepastian. Warga hidup serba tanggung. Dilayani Bontang, tetapi tercatat Kutim. Kondisi ini tidak adil dan tidak bisa terus dibiarkan.

Saatnya perkara ini dituntaskan. Mahkamah sudah memiliki dasar, pemerintah daerah sudah diberi waktu, dan masyarakat tak boleh lagi dijadikan korban tarik-menarik kepentingan. Putuskan—hapus penjelasan yang keliru bila perlu, koreksi peta bila wajib, dan pastikan layanan publik tetap berjalan. Setelah 25 Agustus, alasan menunda kepastian bukan lagi hukum, melainkan sekadar retorika. (habis)

Baca Juga:   Penghapusan Denda PBB-P2 di Bontang: Niat Wali Kota Meringankan vs Birokrasi yang Membelit

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

BERITA POPULER