Setiap kali melintasi Sungai Karang Mumus (SKM) di Samarinda, ingatan saya selalu kembali ke masa pemerintahan wali kota terdahulu. Dari era almarhum Achmad Amins hingga Syaharie Jaang, upaya meyakinkan warga tentang pentingnya normalisasi sungai dan penertiban bangunan di bantaran demi pengendalian banjir tidak mudah. Saat itu, saya turut menyaksikan langsung bagaimana dinamikanya sekaligus memberitakan.
Di lapangan, aparat sering menghadapi penolakan sebagian warga, keterbatasan anggaran, dan tarik ulur kepentingan, sehingga proses berjalan lambat. Padahal, dasar hukumnya sudah jelas. Perda Kota Samarinda No. 3 Tahun 1986 menetapkan penataan bantaran SKM dan Sungai Mahakam, diperkuat Perda No. 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah yang melarang pembuangan sampah ke sungai. Sempadan sungai ditetapkan sebagai kawasan lindung, sehingga bangunan yang berdiri di atasnya harus direlokasi demi memulihkan fungsi sungai sebagai saluran air utama.
Perubahan signifikan baru mulai terasa pada 2019, di era Wali Kota Andi Harun. Ritmenya berubah. Program ini dijalankan lebih terukur, pendanaannya jelas, dan pendekatannya jauh lebih partisipatif. Program ini juga melibatkan Pemprov Kaltim, TNI, dan Polri, dengan proyek normalisasi dimulai dari segmen Pasar Segiri. Ratusan rumah direlokasi, sebagian disertai resistensi keras.
Tahun 2020, pembongkaran dilanjutkan meski sebagian warga masih bertahan. Memasuki 2021–2022, pemerintah melakukan pengerukan, membangun turap, dan membebaskan lahan secara bertahap. Tahun 2023, bantaran kembali dibersihkan dari bangunan liar, disertai penegasan status zona hijau.

Tahun 2024 menjadi titik yang padat pekerjaan. Pada Februari, pemerintah memetakan pembebasan 72 rumah di Kelurahan Sungai Pinang Luar. Juni, Andi Harun turun langsung meninjau progres pembangunan turap, sekaligus mengakui bahwa hambatan terbesar ada di proses pembayaran ganti rugi.
Untuk menjamin keberlanjutan program, Pemkot Samarinda mengalokasikan Rp 39,75 miliar dalam APBD Perubahan 2024 untuk tahap kedua pembongkaran. Pada Juli 2024 lalu, 99 bangunan di kawasan Gang Senggol–Jalan KH Agus Salim telah dibongkar dengan dukungan penuh warga. Pekerjaan kemudian berlanjut mulai Agustus hingga November di segmen Pelita–Lambung Mangkurat, sebagian dilakukan secara sukarela oleh pemilik bangunan.
Tahap berikutnya berlangsung hari ini, Kamis (14/8/2025), di Jalan A.M. Sangaji, Kelurahan Bandara. Sebanyak 93 bangunan di delapan RT dibongkar. Rumah-rumah kayu panggung yang berdiri di tepi Sungai Karang Mumus mulai dirobohkan, sebagian hanya menyisakan kerangka, lantai, dan dinding yang sudah rapuh. Puing-puing kayu, seng, papan, dan material bangunan berserakan di sepanjang lokasi. Sementara itu, ekskavator dengan lengan panjang bergerak sistematis meruntuhkan bangunan satu per satu.
Kegiatan ini didukung anggaran sebesar Rp 9,9 miliar, yang mencakup biaya ganti bongkar dan kompensasi bagi warga pemilik bangunan beralas hak. Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menegaskan bahwa pembongkaran di A.M. Sangaji merupakan kelanjutan dari penataan segmen sebelumnya, sekaligus bagian dari strategi besar pengendalian banjir di kota.

Dalam peninjauannya, Andi Harun menyampaikan rasa syukur atas dukungan penuh masyarakat, yang dinilainya menjadi faktor penting dalam kelancaran proses pembongkaran.
“Yang paling bersyukur adalah masyarakat memberikan dukungan penuh atas kegiatan ini. Tidak ada ketegangan berarti, bahkan mereka ikut bergotong royong. Tidak perlu rapat resmi panjang, persoalan bisa selesai langsung di lapangan. Ini yang saya sebut kesadaran kolektif. Sinergi pemerintah, TNI, Polri, dan masyarakat, yang membuat pekerjaan yang di daerah lain sering tersendat, di Samarinda bisa berjalan cepat,” ungkap Andi Harun kepada wartawan.
Perubahan fisik di sepanjang SKM kini semakin terlihat. Kawasan yang sebelumnya padat bangunan semi permanen telah menjadi jalur terbuka dengan turap beton di beberapa titik. Akses pandang ke sungai lebih jelas, tepian tertata tanpa tumpukan material bekas bangunan, dan vegetasi mulai ditanam untuk menjaga kestabilan tanah sekaligus memperindah bantaran.

Di Gang Nibung, yang dulu sempit dan tertutup bangunan, ruang kini terasa lebih lapang. Jalan gang lebih mudah dilalui, sampah di tepian air berkurang berkat pengawasan rutin dan fasilitas tempat sampah yang memadai. Sebagian warga memanfaatkan lahan kosong bekas pembongkaran untuk menanam tanaman hias dan sayuran, menjadikan lingkungan lebih asri.
Perubahan ini menunjukkan pergeseran sikap. Jika dulu pembongkaran SKM kerap memicu ketegangan, kini di banyak titik justru dilakukan bersama. Warga mulai memahami bahwa pengendalian banjir tidak bisa ditangani pemerintah saja. Keterlibatan mereka menjadi faktor penentu.
Program ini bergerak lebih jelas arahnya. Dari pekerjaan tambal-sulam menjadi proyek strategis dengan target lokasi, anggaran terukur, dan pelibatan warga sejak tahap awal.
Dengan konsistensi, SKM berpeluang memulihkan fungsi hidrologisnya, mengurangi risiko banjir, dan menjadi wajah sungai yang layak dibanggakan warga Samarinda. (*)
Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.