spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Geger Kasus Royalti Lagu, Banyak Kafe di Kaltim Matikan Musik

Tidak setiap hari saya singgah ke rumah makan atau kafe. Tapi karena aktivitas cukup padat, terutama urusan Media Kaltim Network, saya kerap berpindah kota. Dari Bontang, Samarinda, Kukar, Balikpapan dan Penajam Paser Utara (PPU). Bahkan dalam setahun, selalu menyempatkan ke Kutim hingga Berau. Di sela rapat dan perjalanan, saya sering menyempatkan waktu untuk makan di berbagai tempat. Termasuk beberapa kali di jaringan Mie Gacoan.

Seperti biasa, suasana santai di tempat makan sering diiringi musik, latar yang menambah kenyamanan pengunjung. Tapi belakangan ini ada yang terasa berbeda. Tempat-tempat yang dulunya selalu memutar musik kini mendadak sunyi. Tidak sedikit pemilik usaha memilih matikan musik.

Pemicunya kasus hukum yang menjerat pemilik Mie Gacoan di Bali akibat pelanggaran royalti lagu. Isu ini cepat menyebar. Menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku usaha. Termasuk di Kaltim. Kini, memutar lagu di tempat umum tak lagi dianggap sepele. Karena nyatanya, tanpa izin, bisa berbuntut pidana.

Penetapan tersangka Direktur PT Mitra Bali Sukses, pengelola Mie Gacoan Bali, bermula dari laporan pelanggaran hak cipta. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari 10 outlet mereka langsung berhenti memutar musik. Salah satu manajer menyebut, sejak Februari 2025 seluruh gerai sudah tidak lagi memutar lagu. Termasuk live music. Aman duluan, sebelum jadi korban.

Baca Juga:   Penghapusan Denda PBB-P2 di Bontang: Niat Wali Kota Meringankan vs Birokrasi yang Membelit

Efeknya menjalar cepat. Ketakutan menyebar ke luar Bali. Termasuk Kaltim. Sejumlah pengusaha kafe dan pemilik rumah makan mulai mematikan musik. Bukan karena konsep berubah, tapi menghindari risiko hukum. Sebagian lagi memilih berhati-hati, menunggu kejelasan.

Kebingungan juga dirasakan pelaku usaha di daerah lain. Mengutip dari pemberitaan media, Rifkyanto Putro, pemilik Wheelsaid Coffee di Yogyakarta, mengaku siap membayar royalti, tapi tidak tahu harus membayar ke mana dan dengan hitungannya seperti apa. “Rp120.000 dikalikan 25 kursi, itu satu hak cipta atau bagaimana? Yang belum jelas itu,” tanyanya.

Bingung seperti itu juga kemungkinan besar dirasakan pelaku usaha di Samarinda, Balikpapan, Bontang, maupun daerah lain di Kaltim. Sayangnya, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sejauh ini belum aktif menyasar pelaku UMKM daerah. Padahal ini penting.

Aturannya sendiri sudah lama ada. Berdasarkan SK Menkumham RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti untuk restoran dan kafe ditetapkan sebesar Rp60.000 per kursi per tahun untuk hak cipta. Ditambah Rp60.000 lagi untuk hak terkait (artis dan label). Totalnya: Rp120.000 per kursi per tahun.

“Tarif royalti kita paling rendah di dunia. Jadi, bayar royalti itu artinya patuh hukum. Kalau mau berkelit, nanti kena hukum,” kata Ketua LMKN, Dharma Oratmangun.

Baca Juga:   Menimbang Keadilan dalam Perkara Anak di Bontang

Pemerintah juga menyadari adanya keresahan ini. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan akan mencari solusi yang adil. “Kami akan benahi supaya ada jalan keluar yang win-win solution. Jangan sampai orang takut memutar lagu Indonesia karena tidak paham aturannya,” ujarnya di Depok beberapa waktu lalu dikutip dari Antara.

Di tengah polemik ini, pernyataan menarik datang dari musisi Ahmad Dani dan klub sepak bola Persebaya. Ahmad Dhani, musisi sekaligus legislator, menyatakan lagu-lagu Dewa 19 feat. Ello dan Virzha boleh diputar gratis di restoran dan kafe.

“Resto yang punya banyak cabang dan ingin nge-play lagu Dewa 19, saya kasih gratis. DM ke @officialdewa19,” tulisnya via Instagram (6/8). Ia tetap minta pelaku usaha menghubungi manajemen secara resmi.

Sikap serupa datang dari Surabaya. Klub legendaris Persebaya membuka izin pemutaran lagu “Song for Pride” secara gratis untuk tempat usaha, terutama UMKM. “Kami persilakan tempat usaha di Surabaya memutar lagu ini. Sekaligus untuk mem-Persebaya-kan lebih banyak warga,” kata GM Persebaya, Nanang Prianto (6/8/2025).

Dikatakannya, Mahardika Nurdian Syahputra, pencipta lagu Song for Pride, sudah menyerahkan hak cipta lagu itu sepenuhnya ke Persebaya sejak 10 November 2022. Artinya, Persebaya sah dan berhak mengambil langkah hukum kalau ada yang memakai lagu itu secara komersial tanpa izin.

Baca Juga:   Sidrap Menuju Garis Final (2/2): MK Punya Tenggat, Warga Butuh Jawaban

Model seperti ini layak ditiru. Lagu-lagu lokal yang diciptakan untuk pariwisata, budaya, atau branding kota, sebaiknya dipertimbangkan untuk dihibahkan atau digratiskan pemakaiannya bagi pelaku UMKM. Ini jadi strategi pelestarian budaya tanpa membebani pengusaha kecil.

Kaltim harus bersiap. Jangan tunggu masalah seperti di Bali terjadi di sini. Dinas Pariwisata, Dinas Koperasi dan UMKM, serta instansi lain perlu segera menyusun panduan teknis dan melakukan sosialisasi ke pelaku usaha. LMKN juga harus hadir di daerah. Bila perlu, tunjuk perwakilan resmi di setiap provinsi.

Royalti lagu bukan cuma urusan seniman. Ini menyangkut kepastian hukum bagi pelaku usaha. Jangan sampai rumah makan yang sekadar ingin membuat pelanggan nyaman, justru harus berurusan dengan polisi karena tidak tahu aturan.

Pengusaha kuliner dan tempat hiburan di Kaltim harus mulai tertib. Bukan karena takut dilaporkan, tapi karena sadar bahwa memutar lagu tanpa izin adalah pelanggaran hukum. Usaha yang sehat dibangun di atas kepatuhan terhadap aturan. Termasuk soal hak cipta. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

BERITA POPULER