spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

IKN Triliunan, PPU Miliaran: Mana Rasa Keadilan Negara?

SEJAK menempatkan biro Media Kaltim di Penajam Paser Utara (PPU) pada 2022, dan mulai membuka biro liputan di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 2025 ini, saya mengikuti langsung setiap perkembangan di lapangan. Dari mobilisasi proyek nasional, perpindahan ASN, hingga beban berat yang harus ditanggung PPU.

Saya menyaksikan fakta yang tak terbantahkan: Pemkab PPU terus dibiarkan pontang-panting menghadapi dampak pembangunan IKN tanpa dukungan fiskal yang seimbang dari Pemerintah Pusat.

Sementara proyek-proyek IKN berjalan lancar dengan anggaran jumbo, PPU sebagai daerah induk justru harus bolak-balik ke kementerian hanya untuk mengusulkan jembatan, air bersih, jalan, dan irigasi.

Bupati Mudyat Noor secara terbuka menyampaikan, “Kami tidak ingin jadi penonton. Kami ingin diakui sebagai bagian strategis dari pembangunan IKN, bukan hanya penyangga di atas kertas,” ujarnya kepada Mediakaltim.com usai bertemu Kementerian PUPR pada pertengahan 2025.

Langkah politik dan administratif sudah dilakukan. Pemkab PPU dan DPRD telah mengajukan agar PPU ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) serta diberikan akses masuk ke skema Proyek Strategis Nasional (PSN).

Ini bukan usulan tanpa dasar. Secara administratif, sebagian besar kawasan inti IKN berada dalam wilayah Kabupaten PPU. Maka wajar jika beban sosial, tekanan penduduk, hingga tuntutan pelayanan dasar otomatis dibebankan ke daerah ini.

Namun secara fiskal, PPU berada dalam kondisi yang jauh dari ideal. Pada 2022, saat masih dalam masa pemulihan pasca-COVID-19, APBD PPU hanya sebesar Rp 1,17 triliun. Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya Rp 87 miliar, sementara beban utang daerah mencapai Rp 233 miliar. Belanja pembangunan riil yang tersisa bahkan tidak sampai Rp 100 miliar per tahun—angka yang nyaris mustahil untuk menopang lonjakan kebutuhan akibat pembangunan berskala nasional di wilayahnya.

Baca Juga:   Dari Kaltim untuk Dewan Pers

Kondisi ini sedikit membaik di 2024. Pendapatan daerah tercatat sebesar Rp 2,25 triliun, dengan PAD meningkat menjadi Rp 177 miliar dan pendapatan transfer dari pusat mencapai Rp 2,62 triliun. Total belanja daerah menyentuh Rp 3,02 triliun, sementara defisit ditutup melalui SILPA tahun sebelumnya yang mencapai Rp 300 miliar. Namun memasuki 2025, tekanan kembali datang dari kebijakan efisiensi nasional. APBD yang awalnya dirancang sebesar Rp 2,61 triliun harus disesuaikan turun menjadi Rp 2,40 triliun.

Di sisi lain, rendahnya serapan anggaran di sejumlah OPD juga menjadi sorotan. Wakil Bupati Waris mengungkapkan bahwa Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas P3AP2KB sebagai pengelola DAK Non Fisik hanya mampu menyerap anggaran di kisaran 16–27 persen. Ini menambah daftar panjang tantangan fiskal yang dihadapi PPU di tengah beban pembangunan yang kian besar.

Sektor dasar seperti air bersih pun masih menjadi persoalan serius. PPU telah mengajukan dana sebesar Rp 389 miliar untuk peningkatan layanan air bersih. Namun hingga kini, cakupan pelayanan baru mencapai 36 persen. Wilayah seperti Penajam, Waru, dan Babulu masih kesulitan mendapatkan akses. Ironisnya, kawasan Sepaku yang kini menjadi inti IKN telah berada di bawah kewenangan Otorita, sehingga tidak bisa diandalkan untuk membantu wilayah sekitar.

Baca Juga:   Semangat Tak Berhenti di Garis Finis: Jejak 5 Tahun Media Kaltim di Jantung Ibu Kota Nusantara

Dalam rapat bersama DPRD dan Bappeda, Bupati Mudyat Noor menegaskan kembali urgensi ini. “Air bersih itu kebutuhan dasar. Kalau tidak kami suarakan dari sekarang, 5–10 tahun ke depan kita akan menghadapi krisis air karena pertumbuhan penduduk di sekitar IKN akan sangat tinggi,” tegasnya.

Selain air bersih, PPU juga telah menyusun usulan untuk 10 sektor pembangunan prioritas dengan nilai total Rp 5,6 triliun melalui skema Dana Insentif Khusus (DIK). Proyek yang diusulkan meliputi kelanjutan Bendungan Lawe-Lawe, SPAM Waru, jembatan penghubung Riko-Gresik, jalan lingkar pesisir, hingga rehabilitasi jaringan irigasi pertanian. Semua usulan ini diarahkan untuk menjawab kebutuhan nyata masyarakat, bukan proyek mercusuar.

Namun jika dibandingkan dengan gelontoran anggaran untuk pembangunan IKN, nilai usulan dari PPU terasa sangat kecil. Sejak 2022 hingga 2024, Pemerintah Pusat telah mengucurkan sekitar Rp 76 triliun untuk pembangunan IKN—Rp 5,5 triliun pada 2022, Rp 27 triliun pada 2023, dan Rp 18,9 triliun hingga Agustus 2024. Bahkan jumlah tersebut telah melampaui total pagu anggaran IKN untuk periode 2025–2029 yang ditetapkan sebesar Rp 48,8 triliun.

Dengan kata lain, aliran dana ke kawasan inti IKN terus digenjot, sementara PPU yang menopangnya secara sosial dan administratif justru masih harus menunggu kepastian. Hingga 2025 ini, realisasi anggaran lanjutan IKN dari APBN belum bisa dicairkan penuh karena pemblokiran dan efisiensi anggaran. Sayangnya, penundaan ini belum berarti adanya alokasi tambahan untuk mendukung PPU.

Baca Juga:   Saat Kritik Dibalas Doxxing, Siapa Melindungi Ruang Demokrasi Kita?

Fakta ini sebetulnya bukan hal baru. Pada 2022 lalu, Plt Bupati Hamdam Pongrewa sudah menyampaikan kekhawatiran yang sama ke Bappenas. “Jika pusat tidak ikut membangun PPU, maka beban pembangunan akan timpang. Kami bukan minta keistimewaan, kami minta keadilan,” tegasnya.

Namun hingga hari ini, belum ada satu pun usulan tersebut yang dijawab dengan kebijakan fiskal konkret. Padahal dalam berbagai forum, pemerintah pusat kerap menyatakan bahwa pembangunan IKN akan melibatkan daerah. Pertanyaannya: kapan itu benar-benar diwujudkan?

Pemerintah tidak bisa terus memisahkan antara IKN dan PPU. Tidak ada IKN tanpa tanah, rakyat, dan struktur sosial PPU. Jangan sampai IKN hanya dibangun gemerlap di atas, tapi akarnya di bawah dibiarkan rapuh dan keropos.

Saya mendukung penuh agar PPU ditetapkan sebagai wilayah prioritas nasional, baik melalui PSN maupun KSN. Pemerintah juga perlu membuka skema pembiayaan jangka panjang—seperti multiyear budgeting dan waterfall budgeting—agar PPU bisa membangun dengan kesinambungan, bukan sekadar menambal tahun ke tahun.

Jika pemerintah terus menunda pengakuan dan dukungan fiskal ini, maka ketimpangan akan makin dalam. IKN akan tampak megah, tapi rakyat PPU tertatih-tatih mengakses layanan dasar. Ini bukan sekadar ironi. Ini adalah kegagalan manajemen negara jika terus dibiarkan.

PPU tidak butuh seremoni. PPU butuh pengakuan, kebijakan, dan anggaran. Sekarang! Karena pada akhirnya, kita harus bertanya dengan jujur: untuk siapa sesungguhnya IKN dibangun? (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

BERITA POPULER