spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Warga Kecamatan Damai Tuntut Kejelasan Lahan di DPRD Kutai Barat, PT KHL Tak Hadir

KUTAI BARAT – Puluhan perwakilan masyarakat dari Kecamatan Damai mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Kutai Barat untuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait persoalan lahan yang diklaim telah dijual secara sepihak oleh kelompok atau perorangan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Lahan tersebut disebut merupakan hak masyarakat Kampung Besiq dan Kampung Bermai, termasuk yang masuk dalam skema plasma.

RDP ini digelar pada Senin (19/5/2025) pukul 16.00 Wita dan mempertemukan warga dengan anggota DPRD Kutai Barat serta perwakilan pihak terkait. Sayangnya, PT Ketapang Hijau Lestari (KHL) selaku perusahaan yang dipermasalahkan, hanya mengutus kuasa hukum, tanpa menghadirkan perwakilan manajemen.

Salah satu tokoh masyarakat, Peliq Kemas, menyatakan bahwa penggusuran yang dilakukan perusahaan terhadap lahan warga dinilai sebagai tindakan sepihak dan tanpa persetujuan dari pemilik tanah yang sah.

“Kami sudah mencoba berkoordinasi dengan pihak perusahaan, tapi tidak ada hasil. Bahkan mereka terkesan tidak menganggap serius permintaan masyarakat. Itulah sebabnya kami mengajukan RDP ke DPRD,” ujar Peliq kepada wartawan usai rapat.

Baca Juga:   Ketua TP-PKK Kubar Ajak Seluruh Lapisan Masyarakat Terlibat Turunkan Kasus Stunting

Peliq menyebut, perusahaan juga tidak menepati janji pembayaran tali asih kepada masyarakat yang seharusnya menerima kompensasi atas tanah mereka.

“Kalau memang tidak mau bayar tali asih, lepaskan saja areal tersebut dan jangan lagi diganggu. Tapi kalau memang mau bayar, ya bayarlah sesuai janji. Jangan cuma janji-janji,” tegasnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa masyarakat tidak pernah merasa menjual tanah mereka ke pihak perusahaan. Namun berdasarkan informasi yang dihimpun warga, sejumlah oknum telah menerima pembayaran dari perusahaan dan diduga menjual lahan tersebut tanpa persetujuan masyarakat pemilik lahan.

“Di Kampung Besiq saja, lebih dari 2.000 hektar lahan masyarakat diduga sudah dibebaskan oleh perusahaan kepada oknum-oknum tertentu. Bahkan ada satu nama yang memiliki SPPAT seluas 676 hektare dan ada juga 750 hektare Ini sangat tidak masuk akal,” jelas Peliq.

Permasalahan ini, kata Peliq, sudah berlangsung sejak tahun 2014, namun belum juga menemukan jalan keluar hingga kini.

“Kami sudah lama mencoba menyampaikan ke DPRD, tapi baru hari ini bisa dijadwalkan. Kami sangat kecewa karena pihak PT KHL tidak hadir langsung, hanya mengirim pengacara,” katanya.

Baca Juga:   Partisipasi Masyarakat Program PTSL di Kubar Masih Minim, Baru 8.000 Sertifikat Terealisasi

Melalui forum RDP ini, masyarakat berharap anggota DPRD dan instansi terkait dapat membantu menyelesaikan konflik agraria ini secara adil dan transparan. Mereka menuntut kejelasan status lahan, pertanggungjawaban perusahaan, dan perlindungan hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka.

Pewarta: Ichal
Editor: Nicha R

BERITA POPULER